Oleh Wulan Intandari
REPUBLIKA.CO.ID, SIDOARJO – Hari menjelang malam di Sidoarjo, Jawa Timur pada Senin, 7 Oktober 2015 itu. Sekitar pukul 19.00 waktu setempat ada telepon berdering, dan dimulailah salah satu aksi paling menegangkan di bawah reruntuhan mushala Pondok Pesantren Al Khoziny.
Empunya telepon yang berbunyi kala itu adalah dokter spesialis ortopedi dan traumatologi RSUD RT Notopuro Sidoarjo, dr Larona Hydravianto. Ia mendapat panggilan darurat dari direktur rumah sakit, dr Atok Irawan yang mengiformasikan soal keberadaan seorang penyintas di bawah reruntuhan mushala yang saat itu baru saja rubuh.
“Saya waktu itu ditelepon oleh dokter Atok Irawan untuk ke Ponpes Sidoarjo. Beliau mengatakan 'dokter Larona, ini saya posisi sedang di lokasi di pondok reruntuhan saya bersama Bupati, Kadinkes, Basarnas, BPBD, Damkar dan sebagainya sudah ada di sini di lokasi. Ini informasinya ada korban yang posisinya hidup tetapi posisi terhimpit beton lengan kirinya, sehingga tidak bisa dievakuasi keluar dan membutuhkan amputasi di tempat. Saya mau minta tolong dokter Larona ke lokasi untuk melakukan amputasi yang diperlukan'," katanya kepada Republika, Selasa (8/10/2025).
Mendapat informasi tersebut, dr Larona langsung bergegas ke lokasi kejadian. Setibanya di lokasi, dr Larona segera masuk ke titik reruntuhan bersama tim kecil, termasuk personel Basarnas dan tim rescue rumah sakit. Ia harus merangkak melalui celah sempit di antara bongkahan beton untuk menjangkau sang penyintas, seorang santri bernama Nur Ahmad (14 tahun). Santri itu satu dari ratusan yang terkubur saat tengah melaksanakan shalat Ashar kala itu.
"Sampai di TKP saya langsung ingin melihat korban. Makanya, sempat ada video di mana orang-orang banyak memanggil saya karena helm yang saya gunakan tidak terlalu aman. Karena saya segera ingin menuju dan segera ingin tahu bagaimana kondisi pasien, lalu saya langsung merangkak ke dalam," ungkapnya.

Penilaian Kondisi Nur Ahmad
Di dalam reruntuhan, dr Larona menemukan Nur Ahmad dalam kondisi sadar, namun sangat lemah. Tangan kirinya tergencet beton besar, sehingga tak bisa digerakkan. Saat diraba pun tangannya terasa dingin. Ia langsung melakukan penilaian medis awal (assessment) sambil berpacu dengan waktu.
"Nur Ahmad ini sadar, sempat saya panggil cuman jawabannya ’iya, iya, aduh, aduh’ dengan suara yang pelan. Kaki bisa bergerak walaupun lemah, kemudian tangan kiri dan tangan kanan ada gerakan. Problem memang di lengan kiri. Saya coba mendekat dan cek nadi di lehernya masih ada nadinya walau lemah, lalu saya terus lebih dekat ke area lengan kiri," ujar Larona.
Setelah melihat kondisi lengan kiri yang sudah non-viable alias tak bisa lagi berfungsi. Mempertimbangkan risiko syok yang semakin meningkat, dr. Larona langsung mengambil keputusan bahwa harus dilakukan amputasi saat itu juga, di tempat yang sempit dan belum sepenuhnya aman dari risiko runtuhan susulan.
"Saya berpikir, iya memang harus diamputasi dengan pertimbangan keadaan syok, kemudian kita tidak tau sampai kapan bisa mengangkat ini, sehingga kalau nanti kondisinya akan memburuk dan ancamannya nyawa korban, saya putuskan ini harus diamputasi," ucapnya.

Namun, saat itu dr Larona datang tanpa peralatan yang lengkap. Ia tidak ingin melakukan amputasi dengan alat seadanya karena risiko pendarahan dikhawatirkan akan terjadi.
Menyadari risikonya akan lebih fatal jika pendarahan tak bisa dihentikan, dr Larona meminta waktu, mundur sejenak untuk memanggil bala bantuan dari rumah sakit.
Tak berselang lama, datanglah dua dokter lainnya dr Farouk Abdurrahman yang merupakan spesialis anestesi; dan dr Aaron Franklyn Soaduon Simatupang, dokter PPDS ortopedi dari Unair. Bersama empat perawat serta peralatan medis yang lebih lengkap, mereka kembali masuk ke reruntuhan.
"Jadi sebenarnya di situ (saat proses amputasi), kita bertiga. Tapi memang yang paling dekat dengan korban itu dokter Aaron, aksesnya memang sempit tetapi saya ada di belakangnya kemudian ada dokter Farouk di sampingnya dan kita bahu-membahu," ungkapnya.