REPUBLIKA.CO.ID, SIDORAJO -- Proses identifikasi lima jenazah korban ambruknya mushalla Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo mengalami kesulitan akibat kerusakan sidik jari. Sehingga, tim kini memaksimalkan metode identifikasi melalui DNA.
"Dari lima jenazah yang diperiksa ini kan rata-rata usia 12-15 tahun. Nah, sidik jarinya sudah mulai rusak karena sudah mulai membusuk," kata Kabid Disaster Victim Identification (DVI) Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri Kombes Pol dr Wahyu Hidajati di RS Bhayangkara Polda Jatim, Surabaya, Jumat (3/10/2025) petang.
Ia menjelaskan metode identifikasi melalui gigi dan pakaian juga tidak memberi hasil maksimal. Pertumbuhan gigi anak usia belasan tahun hampir sama, sementara seragam santri rata-rata putih dan sarung tanpa ciri khusus.

Dengan kondisi tersebut, tim DVI akan memaksimalkan DNA sebagai metode utama. Namun, menurut Wahyu, metode DNA memerlukan waktu minimal tiga hari bahkan bisa memakan waktu hingga dua minggu.
"Langkah terakhir kami tentu mengambil semua sampel DNA dari keluarga dan jenazah. Kalau DNA terbukti match, itu sudah tidak terbantahkan lagi. Jadi kita menuju ke sana sambil berkejaran dengan waktu,” ujarnya.
Pihaknya meminta keluarga korban bersabar selama proses identifikasi berlangsung di Post Mortem RS Bhayangkara Surabaya. "Masih proses, jadi untuk keluarga mohon bersabar," katanya. Ketika proses identifikasi dan rekonsiliasi tuntas, tim DVI memastikan akan memberitahu keluarga korban.
"Akan kita hubungi, kita sampaikan bahwa dari hasil rekonsiliasi pemeriksaan itu sudah ada titik terang. Jadi nanti bagaimana prosesnya, mau diserahkan bagaimana, perawatan jenazahnya, memandikannya, memakamkannya, itu kita sampaikan ke keluarga," katanya.
Hingga Jumat malam, sudah ada delapan jenazah korban ambruknya bangunan mushalla Ponpes Al Khoziny yang telah dibawa ke RS Bhayangkara untuk selanjutnya dilakukan identifikasi.
View this post on Instagram