REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penjajahan yang dialami bangsa Palestina bermula sejak tanah mereka dirampas dan dijadikan sebagai tempat berdirinya “negara” Israel pada 1948. Adanya Israel merupakan Zionis dalam wujud negara. Secara kebahasaan, zionis berarti mereka yang mendambakan “kembali ke Bukit Zion”, yakni sebuah kawasan geografis di Baitul Maqdis (Yerusalem), Palestina.
Sebelum 1897, zionisme sudah ada, tetapi wujudnya masih “kepercayaan tradisional.” Dalam arti, orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Tuhan telah berjanji kepada Nabi Musa untuk menganugerahkan Baitul Maqdis kepada bangsa Yahudi. Karena itu, mereka meyakini, kota suci tersebut suatu saat akan menjadi miliknya untuk selama-lamanya.
Sejak kongres di Basel, Swiss, pada 1897, mengemukalah apa yang disebut Zionisme politik. Ini tidak sama seperti yang diusung Yahudi tradisional atau “Yahudi asli.” Zionisme tradisional meyakini, kembalinya mereka ke Bukit Zion hanya terjadi ketika sang Raja Yahudi alias juru selamat (messiah) telah datang di antara mereka. Messiah ini akan memimpin mereka untuk mengambil alih Baitul Maqdis.
Sementara, zionisme politik yang diusung Herzl dan para pendukungnya memandang, pengambilalihan Bukit Zion (baca: Palestina) tidak perlu menunggu kedatangan sang juru selamat. Bagi mereka, kaum Yahudi harus aktif sendiri dan merebut “tanah yang dijanjikan” itu dengan cara apa pun. Perpecahan antara zionisme tradisional dan politik sebenarnya sudah tampak bahkan sebelum kongres di Swiss tersebut.
Faktanya, hampir seluruh pendiri Gerakan Zionis Internasional adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa, bukan Timur Tengah. Nyaris mereka semua pun adalah Yahudi Ashkenazi.
Ada berbagai hipotesis tentang asal mula Ashkenazi. Ernest Renan (1823-1892), filsuf Prancis yang juga pakar sejarah Semit mengemukakan Teori Khazaria. Mengutip karyanya, Judaism as a Race and as a Religion (1883), ia berpendapat, Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah berjaya di Asia Tengah.
Mereka tidak berasal dari Kanaan (Palestina). Justru, asalnya adalah bangsa Turki—merujuk pada Asia Tengah, bukan negara Turki modern—yang kemudian memeluk agama Yahudi. Sesudah bangsa Mongol menyerbu Imperium Khazaria di utara Laut Kaspia, lanjut Renan, mereka pun bermigrasi ke Eropa. Bahasa yang dipakainya bukanlah Ibrani, seperti kebanyakan kaum Yahudi penghuni Kanaan, melainkan Yiddish.
Baru-baru ini, muncul riset tes genetik terkait Yahudi Ashkenazi. Itu dilakukan seorang ahli genetika dari Universitas John Hopkins School of Public Health, Eran Elhaik. Pada 2013, ilmuwan Israel ini mempublikasikan hasil penelitiannya dalam artikel “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypothese.”
Ia menemukan, genom orang Yahudi Ashkenazi didominasi komponen Khazaria hingga 30-38 persen. Sementara, komponen Timur Tengah-nya sangat kecil. Artinya, mereka sangat sulit untuk dianggap berasal dari Tanah Kanaan atau Palestina. Elhaik juga mengungkapkan, adanya kesamaan genetika antara Yahudi Ashkenazi dan populasi Kaukasus bila ditinjau dari garis ayah, berdasarkan riset atas Y-Chromosom DNA, maupun garis ibu, bila dilihat dari Mitochondrial DNA.
Maka, bagaimana mungkin Yahudi Ashkenazi mengeklaim Baitul Maqdis atau Yerusalem sebagai tanah airnya, padahal nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah atau Kaukasus?