REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, meminta agar desakan pembubaran DPR RI menjadi momentum untuk melakukan evaluasi kelembagaan. Tuntutan ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki dan menata ulang kelembagaan di Indonesia.
Jimly mengatakan, langkah yang diambil sudah cukup responsif, baik DPR maupun Presiden Prabowo. Hal ini diharapkan bisa meredakan kondisi yang memanas. “Terlebih perguruan tinggi maupun sekolah menerapkan belajar jarak jauh dan WFH untuk kantor-kantor. Mudah-mudahan dalam minggu ini kondisinya mereda,” kata Jimly.
DPR dan pemerintah diperkirakan Jimly akan mengevaluasi semua kebijakan tunjangan penghasilan. Namun hal yang lebih substansial adalah kondisi ini harus menjadi momentum melakukan perbaikan-perbaikan.
“Kondisi ini kan ekspresi dari ketidakadilan yang membuat seluruh Indonesia bergerak. Soal pajak, penghasilan elitnya meningkat sedangkan rakyat dipajakin (pajak naik). Ini harus ada evaluasi serius mengenai kebijakan yang justru menambah ketimpangan,” ungkap Jimly.
Evaluasi yang perlu dilakukan, menurut Jimly, bahkan harus menyangkut masalah kelembagaan secara lebih mendasar. Misalnya soal parlemen. Evaluasi terhadap parlemen bukan hanya soal anggaran, tetapi struktur dan fungsi kelembagaan DPR, DPD, maupun MPR. “Ini ada yang tidak benar. Termasuk dalam perannya menyerap aspirasi,” kata mantan anggota DPD RI ini.
Dijelaskannya, selama ini sudah ada untuk program untuk aspirasi. Namun hal itu dikatkan dengan proyek yang didistribusikan untuk semua anggota. “Semua anggota DPR, DPD, MPR itu mendapatkan proyek penyerapan aspirasi. Tapi bukan penyerapan aspirasi secara kelembagaan. Tapi jadi proyek masing-masing anggota,” jelasnya.
Jimly melihat perlunya restrukturisasi DPD, DPR, maupun MPR. Salah satunya, menurut Jimly, memasukan DPD ke unsur DPR. Sehingga DPD juga terlibat dalam pengambilan keputusan. “Jadi struktur parlemen cukup DPR dan MPR. Dan kewenangan MPR juga dievalusi tugas dan kewenangannya diperkuat,” ujarnya.
Kata Jimy, DPD sebaiknya dibubarkan saja. Lalu perwakilan daerah ikut mengambil keputusan di forum DPR. “Sehingga mereka (DPD) satu fraksi sendiri. Ini supaya jangan hanya orang politik yang mengatur negara ini. Aspirasi daerah dimasukkan dalam struktur sendiri di DPR,” kata Jimly.
Dengan demikian DPD akan memiliki faedah. Saat ini DPD sibuk di satu tahun anggaran tetapi keputusannya tidak ada yang mengikat bagi negara. “Ini namanya lembaga yang ekstraktif. Menghabiskan uang untuk dirinya sendiri, tetapi tidak ada fungsinya yang bermanfaat bagi kehidupan negara,” papar Jimly.
Tidak itu saja, Jimly bahkan mengusulkan wakil presiden di masa mendatang tidak usah dipilih langsung. Wakil presiden cukup dipilih MPR berdasarkan usulan nama yang diajukan presiden terpilih. Dengan demikian, kata Jimly, wakil presiden benar-benar pilihan presiden terpilih. Bukan wakil presiden hasil negosiasi.
Perbaikan lainnya, Jimly menyarankan adanya pembentukan Mahkamah Etika Nasional (MEN). Tujuannya agar sistem etika bisa tertata dan ditegakkan secara terpadu. “Jangan seperti sekarang lagi kacau. Bagaimana menegakkan hukum kalau etikanya tidak berfungsi,” ujar Jimly.