REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto akhir pekan lalu berpidato dua kali di depan wakil rakyat. Dua pidato itu adalah Pidato Kenegaraan menyambut HUT RI ke-80 dan Pidato Nota Keuangan - RAPBN 2026. Banyak hal yang disampaikan dan ditekankan Presiden dalam dua pidato itu. Di pidato awal, misalnya, Presiden mengakui korupsi sebagai masalah terbesar bangsa yang harus segera diberantas. Kepala Negara juga menyampaikan delapan program unggulannya untuk rakyat.
Program unggulan itu misalnya: Makan Bergizi Gratis yang mendapat dukungan anggaran yang masif dan infrastruktur yang lengkap di seluruh daerah. Lalu program sekolah rakyat untuk anak dari keluarga miskin. Kemudian juga program hilirisasi sumber daya alam, terutama nikel yang menjadi penopang baru ekonomi dan lapangan kerja. Tidak lupa Presiden menyebut beberapa kali soal Danantara, yang menjadi salah satu solusi penerimaan negara terbaru.
Namun, harus diakui ada sejumlah hal yang tidak dijelaskan lebih rinci dan mendalam di dua pidato itu. Beberapa hal ini bisa jadi belum masuk prioritas pemerintahan dalam setahun ke depan atau dalam jangka menengah. Berikut delapan hal yang belum menjadi fokus dalam pidato kemarin:
1. Reformasi Birokrasi dan Efisiensi Administrasi Publik
Pidato Presiden menekankan efisiensi belanja dan pemangkasan regulasi (misalnya, 145 regulasi pupuk), tapi tidak ada pembahasan spesifik tentang reformasi birokrasi secara keseluruhan, seperti digitalisasi layanan publik (e-government) atau pengurangan tumpang tindih antarlembaga. Ini penting karena birokrasi yang rumit sering menjadi penghambat penyerapan anggaran (seperti di transfer daerah), dan bisa menghemat triliunan rupiah untuk program prioritas seperti pendidikan (Rp757,8 triliun).
2. Manajemen Utang Luar Negeri dan Risiko Geopolitik
Meskipun defisit APBN disebutkan (Rp638,8 triliun atau 2,48 persen PDB), tidak ada detail tentang strategi mengelola utang luar negeri di tengah "perang tarif" dan prinsip "my country first" yang disebut. Topik ini krusial karena Indonesia bergantung pada pinjaman multilateral (seperti dari BRICS/OECD yang disebut), dan absennya bisa menimbulkan risiko volatilitas nilai tukar (target Rp16.500 per dolar AS).
3. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Pertumbuhan
Pidato Presiden memang fokus pada hilirisasi SDA dan investasi (38 miliar dolar AS), tapi belum menyentuh sektor pariwisata/ekonomi kreatif yang menyumbang signifikan ke PDB (sekitar 5-6 persen pre-pandemi). Ini penting untuk diversifikasi ekonomi, terutama pasca-Covid, dan bisa diintegrasikan dengan anggaran infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja di daerah tertinggal.