REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan Artificial Intelligence (AI) kini tidak lagi hanya soal kecepatan dan efisiensi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi ini dapat lebih memahami manusia. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen, Ipsos menekankan bahwa keberhasilan AI di masa depan akan bergantung pada kemampuannya menggabungkan kekuatan teknologi dengan sentuhan manusia.
Laporan terbaru perusahaan market research global ini, “Humanizing AI for Innovation Success”, menyoroti pentingnya membangun inovasi yang tidak hanya maju secara teknis, tetapi juga selaras dengan nilai, emosi, dan perilaku nyata konsumen. Managing Director Ipsos Indonesia, Hansal Savla, mengatakan di Indonesia AI digunakan di berbagai aplikasi sehari-hari.
Survei AI unggulan Ipsos menunjukkan bahwa antusiasme tampaknya terkait dengan prospek ekonomi. "Negara-negara yang paling antusias terhadap AI biasanya adalah negara-negara yang percaya bahwa AI akan memberi manfaat besar bagi perekonomian mereka," ujar Hansal Savla.
"Tantangan berikutnya adalah memastikan penerapannya tetap etis, inklusif, dan benar-benar bermanfaat. Ini adalah momen penting bagi semua pemangku kepentingan untuk maju Bersama," kata dia menambahkan.
Data dari Ipsos AI Monitor 2025 menunjukkan adanya rasa optimisme yang tetap berwaspada terhadap AI secara global. Sebanyak 56 persen responden global percaya bahwa teknologi AI memberikan lebih banyak manfaat daripada kerugian.
Di Indonesia, tingkat optimisme ini bahkan lebih tinggi, mencapai 85 persen (80 persen pada 2024), namun 43 persen masih merasa khawatir saat menggunakannya. Hal ini mencerminkan betapa cepatnya masyarakat Indonesia beradaptasi dengan teknologi baru, mulai dari layanan digital di ritel hingga penggunaan AI di bidang kesehatan, pendidikan, dan hiburan, namun tetap dengan sikap hati-hati.
"Tingkat kepercayaan ini menjadi peluang besar untuk mengembangkan produk dan layanan yang semakin relevan dengan kebutuhan sehari-hari," ujar Hansal Silva di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Meskipun AI dapat memproses data berskala besar dengan cepat, teknologi ini tetap belum mampu sepenuhnya memahami kompleksitas perilaku manusia. Keputusan konsumen sering dipengaruhi oleh emosi atau kebiasaan yang tidak mudah diukur oleh algoritma. Ipsos menegaskan bahwa AI yang efektif harus mampu menangkap nuansa tersebut.
Ipsos Global Head of Product Testing, Nikolai Reynolds, mengingatkan teknologi tidak bisa diandalkan tanpa memahami konteks sosial, nilai, dan emosi pengguna. "Inovasi berisiko tidak tepat sasaran jika tidak mencerminkan kebutuhan nyata konsumen," ujar dia.
Ipsos percaya kolaborasi antara AI dan keahlian manusia adalah fondasi dari inovasi yang berdampak dan berkelanjutan. Pendekatan ini memastikan hasil analisis tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga benar-benar mencerminkan cara berpikir dan berperilaku manusia di dunia nyata.
AI hanya akan dapat menghasilkan data sebaik kualitas data yang digunakannya. Ipsos menekankan pentingnya data yang relevan, representatif, dan tetap valid seiring waktu. Data yang tidak lengkap atau tidak akurat dapat menyebabkan kesalahan besar—sesuatu yang sudah terlihat dalam beberapa kasus, yang mengingatkan risiko serius jika AI bekerja dengan input berkualitas buruk.
Menurut Nikolai prinsip 'human in the loop' memastikan keterlibatan manusia di setiap tahap pengembangan dan penerapan AI. Kolaborasi antara teknologi dan researcher berpengalaman menjadi kunci agar hasil analisis tetap akurat, etis, dan adaptif terhadap perubahan perilaku konsumen. Dengan pendekatan ini, AI bukan hanya alat analisis, tetapi mitra dalam menciptakan inovasi yang aman dan berdampak.