Senin 16 Jun 2025 17:16 WIB

Kepala BMKG Ungkap Sistem Peringatan Dini Sering Diabaikan saat Kepala Daerah Berganti

BMKG menekankan perlunya kesinambungan kebijakan mitigasi bencana di tingkat lokal.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Sejumlah pelajar dievakuasi di lantai bertingkat gedung penyelamatan Museum Tsunami Aceh saat berlangsung Simulasi Evakuasi Mandiri di Banda Aceh, Aceh, Rabu (9/10/2024). Simulasi Evakuasi Mandiri yang diawali di sekolah dan kemudian dilanjutkan evakuasi masal pelajar ke gedung penyelamatan Museum Tsunami Aceh itu dalam rangkaian Peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dengan melibatkan sebanyak 3.565 pelajar SD, SMP dan SMA yang bertujuan meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko korban jika terjadi bencana.
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Sejumlah pelajar dievakuasi di lantai bertingkat gedung penyelamatan Museum Tsunami Aceh saat berlangsung Simulasi Evakuasi Mandiri di Banda Aceh, Aceh, Rabu (9/10/2024). Simulasi Evakuasi Mandiri yang diawali di sekolah dan kemudian dilanjutkan evakuasi masal pelajar ke gedung penyelamatan Museum Tsunami Aceh itu dalam rangkaian Peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dengan melibatkan sebanyak 3.565 pelajar SD, SMP dan SMA yang bertujuan meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko korban jika terjadi bencana.

REPUBLIKA.CO.ID, NICE — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan sistem peringatan dini bencana harus tetap berjalan, meskipun terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Ia menyampaikan hal ini dalam forum tingkat tinggi Pertemuan Kelautan PBB (UNOC) yang digelar di Nice, Prancis, pada 9–10 Juni 2025.

Dwikorita mengatakan, peningkatan kesadaran dunia terhadap mitigasi bencana, terutama tsunami dan bencana hidrometeorologi, merupakan langkah positif. Namun, menurutnya, kesadaran tersebut tidak akan efektif tanpa kesinambungan tindakan nyata di tingkat lokal.

“Satu kota di Indonesia sudah kami siapkan dengan sistem peringatan dini tsunami secara komprehensif. Semua unsur terlibat, dari pembuat kebijakan, peneliti, universitas, masyarakat hingga pemimpin daerah. Tapi ketika kepemimpinan di daerah tersebut berganti, semua kebijakan itu ‘masuk laci’. Tiga tahun kemudian, tsunami terjadi. Dan mereka tidak siap,” ujar Dwikorita dalam pernyataan BMKG, Senin (16/6/2025).

Ia menekankan bencana di era perubahan iklim semakin sulit diprediksi. Sebagai contoh, ia menyebut munculnya Siklon Tropis Seroja pada 2021 yang secara teori tidak seharusnya terbentuk di zona tropis Indonesia, yakni antara 10 derajat Lintang Utara hingga 10 derajat Lintang Selatan.

“Siklon tropis seharusnya tidak terbentuk di dalam zona tropis tersebut, namun kenyataannya hal tersebut terjadi. Ini mengejutkan kami dan menunjukkan bahwa tantangan bencana semakin tidak terduga,” tegasnya.

Dwikorita juga menyoroti pentingnya inovasi teknologi, termasuk observasi laut dalam, yang kini berkembang pesat di berbagai negara. Namun ia mengingatkan bahwa teknologi saja tidak cukup jika tidak disertai dukungan sosial-politik yang konsisten.

“Kita belajar bahwa saat semua orang siap, entah bagaimana bencana tidak terjadi. Tapi saat kita mulai lengah, bencana bisa datang. Inilah refleksi penting yang harus dijaga kesinambungannya oleh semua pihak,” ujarnya.

Ia mengapresiasi berbagai praktik baik dari negara-negara seperti Jamaika, Afrika Selatan, Brasil, dan negara-negara Pasifik dalam membangun ketahanan menghadapi bencana laut. Namun menurutnya, pelajaran terpenting tetap terletak pada bagaimana menjaga komitmen di tingkat lokal secara berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement