REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Sulistyowati Irianto, mengkritik keras intervensi negara dalam pengelolaan pendidikan kedokteran. Ia menilai regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah mengancam otonomi akademik dan menempatkan universitas sebagai subordinat kekuasaan negara.
“Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, seharusnya melakukan fungsi steering saja, tidak intervensi apalagi secara berlebihan. Bahkan seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab memberi dukungan dana yang memadai bagi pengembangan ilmu pengetahuan agar bisa berkelas dunia. Begitulah otonomi universitas seharusnya,” kata Sulistyowati dalam orasi ilmiah yang disampaikan Kamis (12/6/2025) di Aula FKUI.
Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons terhadap Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2025 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Ia menyoroti secara khusus Pasal 4 ayat (2) yang memberi kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan pelanggaran lain di luar yang telah dirumuskan.
“Mungkin permenkes itu memiliki legalitasnya secara hukum, tetapi kehilangan legitimasi sosial karena kecacatan prosedural dan substansinya,” ujar Sulistyowati.
Ia menilai, pendekatan hukum yang digunakan Kementerian Kesehatan bersifat represif dan tidak melibatkan komunitas akademik serta profesional kesehatan dalam proses pembentukan kebijakan.
“Bila instrumen hukum dibuat tanpa consent (persetujuan, kesukarelaan) dari para pihak yang akan diatur. Ini bukan ruang hidup yang genuine bagi para ilmuwan yang egaliter dan bekerja dalam keterbukaan,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan yang menyangkut dunia pendidikan seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek administrasi birokrasi, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai sosial, sejarah, dan otonomi keilmuan. Ia mengingatkan bahwa sejak masa kolonial, pendidikan kedokteran telah menjadi bagian dari perjuangan bangsa, bukan sekadar instrumen pelayanan kesehatan.
“Sejarah pendidikan kedokteran adalah bagian dari sejarah bangsa ini. Indonesia memang diperjuangkan, dimerdekakan, dan dijaga oleh kaum intelektual, para pendiri bangsa. Dalam hal ini para dokter memainkan peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia,” katanya.
Sulistyowati juga menolak anggapan bahwa dosen dapat diperlakukan sebagai pelaksana teknis kebijakan pemerintah. Ia menegaskan bahwa peran dosen adalah mendidik dan berpikir secara merdeka.
“Seandainya terjadi perpindahan dokter dari universitas atau rumah sakit lain, seharusnya atas kehendak bebas dokter yang bersangkutan demi pengembangan keilmuan dan karier yang lebih baik, bukan diperintahkan untuk pindah oleh pemerintah atas alasan almamaterisme,” tuturnya.
Menutup orasi, Sulistyowati mengutip tokoh ilmuwan dari film Oppenheimer sebagai peringatan bahwa kekuasaan yang tidak terkendali dapat mengancam kebebasan akademik. “Film Oppenheimer menggambarkan betapa bahayanya jika seorang ilmuwan beserta hasil karyanya dikooptasi kekuasaan," katanya.