Kamis 29 May 2025 18:14 WIB

Ombudsman RI Bersurat ke Presiden Prabowo Bahas Industri Sawit

Kehadiran unsur TNI bisa saja niatnya serius, ingin membersihkan tata kelola sawit.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.
Foto: Republika.co.id
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman RI mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dalam rangka perbaikan tata kelola industri sawit nasional. Salah satu usulan yang disampaikan adalah mendorong pentingnya pembentukan Badan Sawit Nasional sebagai solusi terintegrasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan krusial dalam industri sawit tersebut.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyampaikan, jika pengelolaannya akuntabel, keberadaan Badan Sawit Nasional bisa memberikan tambahan pendapatan bagi negara Rp 650 triliun. "Kalau kita serius ingin mengoptimalkan kontribusi industri sawit bagi perekonomian nasional, sudah waktunya Indonesia memiliki Badan Sawit Nasional yang mengelola seluruh kebijakan dari hulu hingga hilir," ujar Yeka di Jakarta, Kamis (29/5/2025).

Baca Juga

Yeka menjelaskan, tambahan pendapatan negara Rp 650 triliun berasal dari peningkatan produktivitas, harga ekspor CPO (crude palm oil) yang lebih tinggi karena tidak lagi bermasalah soal deforestasi, hingga tambahan pajak dari sektor sawit. Data Kementerian Keuangan menyebutkan, kontribusi industri sawit ke APBN 2023 mencapai sekitar Rp 88 triliun, dengan perincian penerimaan pajak Rp 50,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 32,4 triliun, dan bea keluar Rp 6,1 triliun.

Nantinya jika terbentuk, Badan Sawit Nasional menjadi lembaga langsung di bawah presiden agar mampu memangkas tumpang tindih kebijakan yang selama ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Yeka mencontohkan keberhasilan Malaysia Palm Oil Board (MPOB) yang mampu mengelola industri sawit secara terintegrasi dan efisien, meskipun luas lahannya jauh lebih kecil dari Indonesia. Hasilnya, harga tandan buah segar (TBS) di Malaysia lebih stabil dan lebih tinggi.

Yeka juga menyoroti berbagai masalah mendesak yang membelit industri sawit. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat yang hanya mencapai 8–10 ton per hektare, jauh di bawah potensi maksimal 19-20 ton per hektare. Hal itu disebabkan oleh buruknya kualitas benih sawit.

"Sekitar 70 persen sawit rakyat menggunakan benih tidak berkualitas. Kunci perbaikannya adalah replanting, tapi pelaksanaannya sangat lambat, padahal dananya ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," ujar Yeka. Hingga kini, dari total potensi 6 juta hektare kebun rakyat, replanting baru mencakup sekitar 100 ribu hektare per tahun.

Permasalahan lain yang krusial adalah tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan, yang membuat produk sawit Indonesia sulit bersaing secara global. Akibat belum adanya sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO untuk sebagian besar sawit nasional, harga CPO Indonesia lebih rendah dibanding negara lain seperti Malaysia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement