REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR – Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sempat terkenal dengan pembelaannya yang berapi-api terhadap Palestina. Belakangan, sejumlah pihak melihatnya terkesan menahan diri melancarkan kritik terhadap kondisi di Gaza, utamanya jika terkait kebijakan Amerika Serikat.
Saat Presiden AS Donald Trump mewacanakan pengosongan Gaza, hal yang dinilai serupa pembersihan etnis, pernyataan Anwar terkesan datar. “Pertama-tama kami akan mempelajari pernyataan tersebut dan kemudian kami akan membahasnya,” kata Anwar dilansir Malaysia Now pada Februari lalu, saat isu ini menghangat.
Anwar kala itu menambahkan, posisi Malaysia terhadap perjuangan Palestina tidak berubah. “Sikap Malaysia tetap sama dengan negara-negara Muslim lainnya. Selebihnya, kami akan berkomentar nanti.”
Sikap ini didahului dengan kritik terhadap langkah investasi yang diambil negara jiran tersebut. Dilaporkan the Strait Times, pada pertengahan 2024 Anwar menolak tekanan dari para pengkritiknya untuk membatalkan kesepakatan privatisasi bandara Malaysia senilai 3,54 miliar dolar AS yang melibatkan pengelola dana AS, BlackRock.
Anwar mengatakan kepada Parlemen Malaysia minggu ini bahwa tidak realistis untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan manapun yang memiliki hubungan dengan Israel.
BREAKING: Pro-Palestine activists are occupying the lobby of BlackRock headquarters in NYC, a major investor in Israeli apartheid.
The protesters have unfurled a banner with the names of over 4,000 Palestinian children murdered by Israel in the last month. pic.twitter.com/qfKAFjjKcK
— BreakThrough News (BTnewsroom) November 9, 2023
The Strait Times melaporkan, Anwar berusaha meyakinkan investor AS bahwa pemerintahnya tidak memiliki masalah dengan BlackRock, yang membeli Global Infrastructure Partners (GIP) – anggota konsorsium yang mengambil alih Malaysia Airports Holdings.
“Kolaborasi antara Bandara Malaysia dan GIP sangat penting bagi kami,” katanya pada jamuan makan siang yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang Amerika Malaysia (AmCham Malaysia) pada 25 Juni 2024 lalu.
Kesepakatan privatisasi, yang diumumkan pada 15 Mei 2024 itu memberi nilai kepada operator bandara tersebut sekitar 3,9 miliar dolar AS. Kesepakatan itu juga mempertahankan 70 persen saham perusahaan tersebut di tangan Malaysia, melalui badan pengelola dana kekayaan negara, Khazanah Nasional dan Dana Penyediaan Karyawan.
BlackRock adalah salah satu investor terbesar di beberapa perusahaan terbesar Malaysia, dengan total kepemilikan saham dan obligasi pemerintah senilai hampir 5,8 miliar dolar AS, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Belakangan perusahaan investasi itu juga disambangi Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani. Dalam unggahan di akun instagram terverifikasinya pada 14 Mei lalu, ia menyatakan bahwa badan pengelola dana BUMN nasional itu menjajaki kerja sama dengan BlackRock. “Danantara dan BlackRock menjajaki kemitraan strategis untuk mendorong investasi berkelanjutan. Di New York, Selasa ini, saya bertemu para Senior Managing Director BlackRock, Mr. Adebayo Ogunlesi, Mr. Rajeev Rao, dan Mr. Charles Hatami,” tulis Roslan.
View this post on Instagram
Ia melanjutkan, “Kemitraan ini mencerminkan sinergi antara prioritas pembangunan Indonesia dan kekuatan global BlackRock dalam pengelolaan aset, pembiayaan transisi energi, serta infrastruktur digital.”
“Sebagai perusahaan investasi terbesar di dunia dengan total Assets Under Management (AUM) lebih dari USD 11 triliun, BlackRock menunjukkan kepercayaan investor global terhadap prospek ekonomi kita yang kuat, sekaligus membuka peluang untuk menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia,” tutup Roslan.
Rencana ini tak menunggu lama untuk mendapat kritikan. Lembaga think tank Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) mempertanyakan rencana kerja sama itu. “Kerja sama antara Danantara dan perusahaan investasi global BlackRock perlu mendapat perhatian serius. BlackRock secara global tercatat pernah mendapat teguran dari lembaga internasional atas keterlibatan dalam investasi sektor pertahanan yang memasok senjata ke Israel,” tulis divisi Center for Sharia Economic Development (CSED) lembaga tersebut dalam lansiran yang diterima Republika.
Menurut INDEF, langkah itu akan secara langsung berlawanan dengan komitmen publik Indonesia terhadap dukungan kemerdekaan Palestina. “Perlu digarisbawahi bahwa penjajahan Israel atas wilayah-wilayah pendudukan di Palestina bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta serangan luar biasa dan penghancuran Israel atas Gaza yang mengarah pada genosida melanggar seluruh peraturan internasional dan asas perikemanusiaan yang adil dan beradab.”

Peneliti dari Center of Economics and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rahmat dalam opininya di Middle East Monitor menekankan bahwa BlackRock bukan sekadar lembaga keuangan multinasional. “Mereka adalah investor langsung dalam mesin perang—memiliki saham yang signifikan di Lockheed Martin, Northrop Grumman, dan RTX, yang semuanya penting bagi operasi militer Israel di Gaza. Jet tempur F-35 milik Lockheed Martin, peluncur rudal Northrop, dan Iron Dome milik RTX semuanya memainkan peran penting dalam serangan gencar yang telah merenggut puluhan ribu nyawa warga sipil di Palestina, termasuk wanita, anak-anak, dan jurnalis.”
Ia juga menjelaskan bahwa pada 2025, BlackRock memiliki 7,4 persen saham di Lockheed Martin. CEO perusahaan itu baru-baru ini menyatakan bahwa perang di Ukraina dan Gaza adalah pendorong pendapatan utama mereka. “Ini bukanlah investasi pasif. Itu adalah posisi politik yang disamarkan sebagai strategi portofolio,” tulis Zulfikar.
“Bagi Indonesia—negara yang prinsip pendiriannya secara eksplisit menolak kolonialisme ‘dalam segala bentuknya’—kemitraan dengan BlackRock adalah sebuah pengkhianatan. Ini adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945, pengkhianatan terhadap warisan diplomasi kita di bawah Sukarno dan Hatta, dan yang terpenting, pengkhianatan terhadap hati nurani rakyat kita.”
Ia mengatakan, argumen bahwa investasi diperlukan untuk mendukung perekonomian negara juga harus dipandang dengan berhati-hati. Terutama jika harga yang harus dibayarkan terkait kerja sama itu sedemikian mahal: Indonesia bisa dilihat sebagai pihak yang terlibat dalam genosida di Gaza.
“Keterlibatan dalam perang yang kini diakui sebagian besar dunia sebagai perang genosida. Ketika kampus-kampus di seluruh Amerika melancarkan protes dan pemerintah-pemerintah Eropa menilai kembali hubungan dengan entitas yang terkait dengan Israel, Indonesia malah menggoda para penyandang dana pendudukan.”
Zulfikar menekankan bahwa investasi tak boleh lepas dari moralitas. Terlebih saat investasi BlackRock terbukti “memberdayakan rezim yang telah mengubah Gaza menjadi kuburan.”
“Dengan berjabat tangan dengan BlackRock, Indonesia memberikan perlindungan moral kepada investor yang tangannya sudah ternoda.”