REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memantau pelaksanaan program pendidikan karakter Panca Waluya Jawa Barat (Jabar) Istimewa oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. Program itu mengirim 'anak nakal' ke barak militer guna mengikuti pendidikan karater.
Berdasarkan hasil pemantauan, KPAI mendapati 12 temuan. Pertama, KPAI menyebut belum optimalnya perhatian terhadap regulasi yang mengatur perlindungan anak seperti Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak. Menurut KPAI, ketidaksesuaian ini berdampak pada munculnya stigma serta pelabelan bersifat diskriminatif terhadap anak dan minimnya ruang partisipasi anak dalam program tersebut.
Kedua, KPAI menemukan belum terdapat standar baku yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan program, seperti panduan, petunjuk teknis (juknis) dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan pola pelaksanaan di dua program yang dikunjungi.
"Perbedaan tersebut mencakup struktur program, ketersediaan sarana prasarana, rasio antara peserta dan pembina, serta metode pengajaran mata pelajaran sekolah yang tidak seragam meskipun berasal dari jenjang kelas dan jurusan yang berbeda. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memengaruhi mutu hasil dari program secara keseluruhan," kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam laporan resmi yang diperoleh Republika pada Selasa (20/5/2025)
Ketiga, KPAI mendapati struktur program pendidikan karakter yang diterapkan di Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela negara Rindam III Siliwangi, Cikole Kabupaten Bandung Barat cukup baik. Program ini memuat unsur-unsur penting seperti pendidikan bela negara, penguatan mental, spiritual dan sosial, pembentukan kkedisiplinan, peningkatan kemandirian, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Keempat, KPAI menyebut seluruh peserta program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa berasal dari kalangan siswa usia SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang tercatat aktif dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
"Padahal, masih terdapat banyak anak dengan kondisi rentan berlapis lainnya yang juga membutuhkan perlindungan khusus, namun belum terjangkau oleh program ini," ujar Ai.
Kelima, KPAI mencermati faktor para siswa mengikuti program di dua lokasi barak militer karena kebiasaan merokok, disusul oleh perilaku sering membolos sekolah, dan di urutan ketiga adalah keterlibatan dalam tawuran. Selain itu, sebanyak 6,7 persen siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program.
"Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap ketepatan sasaran peserta dalam pelaksanaan program," ujar Ai.