REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalimantan Barat memiliki potensi luas untuk berkembang pesat sebagai produsen kelapa sawit yang besar dan berkontribusi pada peningkatan ekonomi di Indonesia. Namun di balik itu, para pekerja di perkebunan sawit harus dilindungi dengan terpenuhinya hak-hak dasar mereka.
Direktur Eksekutif Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (Yayasan IJMI), Try Harysantoso, menjelaskan hak dasar pekerja sawit itu meliputi upah layak, waktu kerja yang wajar, akses layanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kesempatan menyampaikan aspirasi secara aman. "Hak-hak dasar ini harus tertuang dalam kontrak kerja yang dibuat secara tertulis dan disepakati kedua belah pihak,” ujarnya.
Try melihat Indonesia masih bergulat dengan bayang-bayang perbudakan modern dan kerja paksa dengan sektor perkebunan sawit termasuk di dalamnya. Kalimantan Barat, salah satu sentra produksi sawit terbesar di Indonesia, masih menghadapi persoalan pelik soal perlindungan hak pekerja.
Di balik geliat ekonomi dari ekspor sawit, praktik eksploitasi dan kerja paksa masih membayangi para petani dan buruh. "Laporan Global Slavery Index 2023 menempatkan Indonesia di peringkat ke-10 dunia dengan lebih dari 1,8 juta orang terjebak dalam perbudakan modern, termasuk di industri ini," ungkap dia.
Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 46,5 juta metrik ton pada 2024. Setara dengan 58 persen dari total produksi global. Pada 2023, kontribusi industri sawit ke APBN 2023 telah mencapai Rp 88 triliun yang terdiri atas penerimaan dari sektor perpajakan Rp 50,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 32,4 triliun, serta bea keluar Rp 6,1 triliun.
Sementara Kalimantan Barat, sebagai salah satu lokomotif sawit nasional, merupakan salah satu wilayah dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini mendekati 1,5 juta hektare, yang menyerap jutaan tenaga kerja.
Di lapangan, Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo, menemukan indikasikan masih banyak pekerja sawit yang hak-haknya tidak terpenuhi. Karena para pekerja ini masuk kategori buruh harian lepas (BHL), sehingga jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan tidak terpenuhi.
Akibat lain dari status BHL ini, para pekerja sawit tidak berhak mendapatkan THR. Dan jika ada pemutusan kerja, mereka juga tidak berhak atas pesangon dan jasa kerja. "Posisi mereka lemah dan rentan,” tegas Agus.
Agus menjabarkan lebih detil fakta-fakta di lapangan yang mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan, terutama dalam perlindungan BHL. Melalui upaya advokasi dan investigasi, ia mendapati berbagai permasalahan, salah satunya ketidakpatuhan terhadap standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di beberapa perusahaan perkebunan sawit.
Banyak perusahaan yang mengabaikan aspek ini, bahkan ketika Alat Pelindung Diri (APD) diberikan, buruh sering kali dipaksa untuk membayar alat tersebut, yang seharusnya menjadi tanggungan perusahaan. Selain itu, masih ada perusahaan yang tidak memberikan fasilitas pemeriksaan kesehatan rutin bagi buruh yang berisiko terpapar bahan kimia, seperti pestisida dan pupuk kimia.
Sementara bagi pekerja sawit perempuan, ungkap Agus, mereka merupakan pekerja yang sangat rentan karena banyak bersentuhan dengan bahan kimia tanpa APD yang memadai dan pemeriksaan kesehatan rutin. Dengan status BHL, membuat mereka takut menuntut hak seperti cuti haid dan melahirkan. "Mereka juga kerap mengalami pelecehan seksual, dan saat melapor justru diancam mutasi atau PHK oleh atasan,” kata dia memaparkan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar, Hermanus, mengemukakan ada 12 kabupaten kota dengan total sekitar 438 perkebunan sawit di Kalbar. Ia tidak memungkiri masih banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum mematuhi ketentuan, norma kerja, dan aturan K3.
"Sehingga kami pun berkomitmen dan senantiasa berupaya melakukan pembinaan baik edukatif maupun non-justisia dan represif, agar perusahaan benar-benar patuh terhadap norma ketenagakerjaan," ujarnya.