REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) periksa dua anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus), Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Pemeriksaan terkait dengan peran kedua hakim itu dalam dugaan penerimaan suap dan gratifikasi vonis lepas para terdakwa korporasi kasus korupsi izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO).
Pemeriksaan dilakukan tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus, pada Ahad (13/4/2025). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, kedua hakim tersebut diperiksa sebagai saksi. “Yang sedang diperiksa adalah Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom,” begitu kata Harli melalui pesan singkat, Ahad (13/4/2025).
Kata Harli, tim penyidikan di Jampidsus turut menunggu Djuyamto, yang merupakan ketua majelis hakim dalam perkara CPO tersebut. Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom adalah dua anggota majelis hakim yang memvonis lepas para terdakwa korporasi korupsi CPO.
Kata Harli, Djuyamto dikabarkan mendatangi Gedung Kartika di Kejagung pada Ahad (13/4/2025) dini hari. Akan tetapi, kata Harli kedatangan Djuyamto tak diketahui oleh penyidik. “Karena itu, hari ini (13/4/2025) yang bersangkutan (Djuyamto) juga ditunggu (penyidik untuk diminta keterangan). Mudah-mudahan yang bersangkutan datang,” ujar Harli melanjutkan.
Pada Sabtu (12/4/2025) malam, tim penyidikan di Jampidsus, menangkap lalu menetapkan empat orang sebagai tersangka terkait korupsi pemberian dan penerimaan suap serta gratifikasi senilai Rp.60 miliar.
Empat yang ditangkap tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arief Nuryanta (MAN). Namun penetapan MAN sebagai tersangka atas perannya sebagai mantan Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus yang dituduh menerima suap dan gratifikasi Rp.60 miliar.
Penyidik Jampidsus juga menangkap Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Wahyu Gunawan (WG). WG dijerat tersangka atas perannya selaku perantara pemberian suap dan gratifikasi. Dua lainnya yang ditangkap adalah Ariyanto (AR) dan Marcella Santoso (MS) yang merupakan pengacara, pemberi suap dan gratifikasi.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, pada 19 Maret 2025, Majelis Hakim PN Jakpus menjatuhkan putusan onslag atau lepas, terhadap para terdakwa korporasi kasus korupsi pemberian izin ekspor CPO 2022. Para terdakwa korporasi tersebut, di antaranya adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palm Oil Lestari, PT Pelita Agung Agri Industri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Terdakwa Wilmar Group, yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Terdakwa ketiga adalah Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Inti Benua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas. Para terdakwa korporasi tersebut dalam tuntutan Jaksa Pentuntut Umum (JPU), meminta majelis hakim menyatakan para terdakwa korporasi bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam mendapatkan izin ekspor CPO 2022.
Dalam tuntutannya, JPU meminta majelis hakim PN Tipikor Jakpus menjatuhkan pidana denda senilai Rp 1 miliar terhadap semua terdakwa. Perkara korupsi tiga terdakwa korporasi tersebut diadili oleh Hakim Djuyamto selaku ketua majelis, dan Hakim Agam Syarif Baharuddin serta Hakim Ali Muhtarom sebagai anggota majelis. JPU dalam tuntutannya meminta majelis hakim agar menjatuhkan pidana tambahan berupa denda terhadap masing-masing terdakwa korporasi karena telah merugikan perekonomian negara.
Terhadap terdakwa Permata Hijau Group, JPU meminta majalis hakim menjatuhkan pidana tambahan, berupa membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara senilai Rp 935,5 miliar. Terhadap terdakwa Wilmar Group senilai Rp 11,88 triliun, dan terhadap terdakwa Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun. Namun tuntutan tersebut mentah dalam putusan majelis hakim pada 19 Maret 2025 lalu.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa korporasi melakukan perbuatan yang sesuai dengan isi dakwaan JPU terkait Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor. “Akan tetapi perbuatan tersebut dinyatakan bukan lah merupakan suatu tindak pidana oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat,” ujar Qohar. Dan atas putusan tersebut, majelis hakim melepaskan para terdakwa korporasi tersebut dari segala tuntutan.
“Dari putusan onslag (lepas) tersebut, penyidik menemukan fakta-fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap, dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak 60 miliar rupiah,” ujar Qohar. Pemberian uang tersebut dilakukan melalui WG. “Pemberian ini (Rp 60 miliar) dalam rangka pengurusan perkara dimaksud agar majelis hakim yang mengadili perkara terdakwa korporasi pada kasus perizinan ekspor CPO memberikan putusan onslag. Padahal menurut majelis hakim, perkaranya memunuhi unsur pasal yang didakwakan oleh JPU, tetapi majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bukan merupakan tindak pidana,” ujar Qohar.