Kamis 27 Mar 2025 10:16 WIB

Maluku-Belanda: Pergi Bela Oranye, Pulang Bela Merah Putih

Hadirnya pemain keturunan Maluku dari Belanda jadi tonggak baru sejarah.

Tentara KNIL dari Maluku menuju Belanda di atas kapal Kota Inten pada 1951.
Foto: Moluks Historisch Museum
Tentara KNIL dari Maluku menuju Belanda di atas kapal Kota Inten pada 1951.

Oleh: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Selepas berbunyi peluit akhir pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 semalam, tak hanya Stadion Gelora Bung Karno di Senayan yang pecah dengan sorak sorai. Kemenangan tipis melawan Bahrain yang dicatatkan timnas juga disambut di seantero negeri, tak terkecuali di kepulauan Maluku, nun di timur arkipelago.

Baca Juga

Rekaman media sosial menunjukkan pawai kendaraan bermotor yang ramai diikuti masyarakat. Meraung-raung membelah jalan-jalan utama di Ambon dan wilayah lainnya. Bendera Merah Putih dikibarkan, suar-suar dinyalakan, yel-yel diteriakkan.

“Jembatan Merah Putih itu full!” tutur Heys Kailola, seorang pekerja di Ambon saat dihubungi Republika, Rabu (26/3/2025). Ia menuturkan, acara nonton bersama yang dilakukan di Lapangan Merdeka di pusat kota Ambon penuh dengan manusia.

Sejak lama, kegembiraan akan sepak bola di Maluku agak berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ada fanatisme yang menguar setiap kompetisi-kompetisi dunia digelar. “Euforia bola memang tinggi di sini,” ujar Wijaya Barenz, seorang wartawan di Ambon.

Yang berbeda kali ini, fanatisme tersebut tak perlu jauh-jauh dari rumah. Buat sebagian orang, rekrutmen diaspora yang gencar belakangan adalah naturalisasi pemain-pemain asing; namun buat warga Maluku, sebagian mereka tetap putra-putra Jazirah Para Raja.

Orang-orang Ambon belakangan fasih menerangkan dari mana akar darah Maluku para pemain keturunan. “Orang-orang bicara soal itu, misal (Ragnar) Oratmangoen itu dari Tanimbar,” kata Wijaya.

photo
Pemain timnas Indonesia Ragnar Oratmangoen berusaha mengejar bola saat bertanding melawan timnas Saudi Arabia pada babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Grup C di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Selasa (19/11/2024). - (Republika/Thoudy Badai)

Sedangkan Heyts membanggakan bahwa ia ‘satu kampung’ dengan Eliano Reijnders Lekatompessy yang garis keturunannya mengakar di Latuhalat, Nusaniwe, Ambon. Selain mereka, ada Kevin Diks Bakarbessy yang punya akar dari Desa Waai di Salahutu, Maluku Tengah; Joey Pelupessy dari Saparua Timur, Maluku Tengah; serta Shayne Pattynama yang ayahnya punya darah keturunan Pulau Haruku di Maluku Tengah. Sebelum skuad saat ini, sudah ada Stefano Lilipaly yang merupakan keturunan Ambon, juga Raphael Maitimo. 

“Kalau dibilang bangga, ya bangga. Di baju timnas mereka ditulis marga saja sudah bikin bangga buat orang Ambon,” kata Heys.

Jauh sebelum perekrutan diaspora, pemain dari Maluku sudah langganan menghiasi line up tim nasional. Mulai dari Ronny Pattinasarany yang lahir di Makassar, putra Ambon Rochy Putiray; hingga jebolan kampung sepak bola di Tulehu seperti Chairil Anwar Ohorella, Manahati Lestusen, Alfin Tuasalamony, Hasyim Kipuw, Abduh Lestaluhu, dan lainnya.

Meski begitu, para nyong Maluku yang lahir di Belanda dan akhirnya membela Merah Putih adalah sejarah tersendiri. 

Keberadaan diaspora Maluku di Belanda mengakar jauh pada 1950. Kala itu, selepas agresi militer Belanda, ada sekitar 4.000 etnis Maluku yang bergabung dengan KNIL, alias pasukan kerajaan Belanda telantar di Pulau Jawa. Presiden Sukarno enggan memulangkan mereka ke Maluku karena khawatir menjadi pendukung gerakan separatisme di Maluku Selatan yang dideklarasikan tahun itu juga.

 
photo
Keluarga Maluku setibanya di Belanda dengan kapal Kota Inten pada 1951. - (Nationaal Archief Den Haag)

Ribuan orang itu beserta keluarga mereka dengan jumlah total sekira 12.500 orang kemudian diangkut ke Belanda. Mereka diberi harapan bahwa pemindahan ke Belanda itu sementara saja sebelum nantinya kembali ke Maluku enam bulan setelahnya, sebuah janji yang dilanggar kemudian.

Peneliti BRIN Nur Aisyah Kotarumalos dalam artikel “Mengkonstruksi Identitas Diaspora Maluku di Negeri Belanda” mencatat bahwa generasi pertama etnis Maluku di Belanda ini diperlakukan dengan buruk setiba di Eropa. Mereka sebagian ditempatkan di bekas kamp Nazi, serta dicopot dari kemiliteran Kerajaan Belanda. 

Kondisi di tanah penjajah ini memelihara harapan kembali ke kampung halaman dan mendirikan negara merdeka. Sentimen ini memuncak pada akhir tahun 1970-an saat sebagian mereka membajak kereta  api  dari  Groningen  menuju  Amsterdam, menduduki  konsulat Indonesia di Amsterdam, dan terakhir menduduki gedung pemerintahan di dekat Assen. Pemberontakan ini kemudian dipadamkan dan perubahan kemudian perlahan terjadi pada komunitas Maluku di Belanda. 

Generasi kedua diaspora Maluku ini mulai merengkuh ke-Belanda-an mereka sembari menjaga identitas dan budaya dari kampung. Menurut Nur Aisyah, sentimen terkait separatisme Maluku Selatan juga mulai luruh pada generasi selanjutnya diaspora Maluku di Belanda. Terlebih mereka kini sudah lebih terintegrasi dengan negara tempat kakek-nenek mereka dilarikan dahulu. 

photo
Pelatih kepala Rangers FC Giovanni van Bronckhorst. - (AP/Manu Fernandez)

Bersamaan dengan fenomena itu, di bidang sepak bola mulai bermunculan talenta-talenta keturunan Maluku dengan kemampuan yang mumpuni.  Pada Piala Dunia 2010, Giovanni van Bronckhorst, cucu dari Lena Sapulette dari Ullath di Saparua jadi orang Maluku pertama yang menjadi kapten tim nasional Belanda pada pertandingan internasionalnya yang ke-64. Gol ciamiknya pada Piala Dunia 2010 saat melawan Uruguay dinobatkan FIFA jadi yang terbaik sepanjang kompetisi itu. 

Denny Landzaat juga sempat berseragam oranye sepanjang 2001-2008. Dilaporkan Suara Maluku, Landzaat memiliki garis keturunan maluku dari ibundanya yang bermarga Salasiwa dari Pulau Buru. Dalam pribadi Landzaat ini dinamika loyalitas para pemain berdarah Maluku di Belanda tergambarkan.

Dilansir media Belanda, Landzaat sempat secara terbuka mendukung perjuangan orang-orang Maluku di Belanda. “Unik bukan, tiga orang Maluku dipilih untuk Oranye? Rakyat kami dulu memperjuangkan tiga warna Belanda di Indonesia; sekarang kami mempertahankan tiga warna yang sama seperti pemain sepak bola di lapangan,” ujarnya. Ia menuturkan, ibunya berusia dua tahun saat ikut dengan keluarganya serta para tentara KNIL yang dibawa ke Belanda dahulu. 

photo
Asisten Pelatih Timnas Indonesia Denny Landzaat saat menghadiri konferensi pers pengenalan Tim Pelatih Timnas Indonesia di Jakarta, Ahad (12/1/2025). - (Republika/Prayogi)

Namun belakangan, Landzaat ikut dalam tim pelatih Patrick Kluivert guna memoles Timnas Merah Putih. Ia bahkan sempat pulang sejenak ke Maluku membawa rekan satu tim kepelatihan Alex Pastoor. Jika dulu darah Malukunya jadi alasan memperkuat timnas Belanda seperti tentara KNIL, sekarang Landzaat menggunakan garis keturunan itu untuk menguatkan posisinya membina Merah Putih.

Demikian juga alasan para nyong Maluku dari Belanda soal kesediaan mereka membela timnas saat ini. "Ini juga soal keluarga saya, kakek dan nenek saya lahir di sini, anak laki-laki mereka juga, saya punya darah Indonesia di dalam diri saya dan itu membuat semuanya (bermain dengan timnas) istimewa," ujar Joey Pelupessy. 

Meski mungkin tak mereka sadari, keberadaan para pemain keturunan Maluku-Belanda di tim nasional ini bisa menjadi semacam penutup bagi penantian leluhur mereka yang dulu dibawa ke Belanda dan tak boleh pulang. Ia juga lembaran baru hubungan diaspora Maluku di Belanda dengan Republik Indonesia.

Jika mereka berhasil membawa jauh perjalanan tim nasional, sukar dibayangkan bagaimana nantinya keriuhan di Maluku. Kegembiraan yang semata untuk warna merah dan putih tanpa biru di bawahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement