REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolres Ngada nonaktif AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja pada 20 Februari 2025 ditangkap oleh Divisi Propam Polri atas dugaan kasus narkoba dan asusila. Khusus kasus asusila, Fajar diduga melakukan pencabulan terhadap tiga anak dibawah umur, di mana usianya mulai dari tiga tahun, 12 tahun dan 14 tahun.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman mendesak Mabes Polri untuk langsung memecat Kapolres Ngada nonaktif Fajar Widyadharma Lukman. Desakan senada juga muncul dari kalangan masyarakat sipil, khususnya aktivis perempuan.
“Mabes Polri harus berhentikanlah, langsung dipecat saja itu,” katanya saat dihubungi dari Kupang, Selasa (11/3/2025) siang.
Benny pun menyoroti dugaan pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur. Di mana, saat melakukan aksinya Kapolres nonaktif itu justru membuat video aksinya, lalu mengirimkan videonya ke situs porno luar negeri.
Selain dilakukan pemecatan, Benny juga mendesak agar Mabes Polri memproses secara hukum terhadap pelaku yang sudah membuat malu institusi Polri. "Perlu Mabes Polri juga periksa yang bersangkutan, jangan-jangan jaringan penggunaan narkobanya,” ujar dia.
Hal ini juga, ujar dia, untuk menyelidiki modus operandinya, karena menurut dia peredaran narkoba itu juga melibatkan anggota-anggota Polri juga. Terkait masih tertutupnya Polri terkait kasus itu, dia meminta agar Mabes Polri harus segera mengungkap kasus tersebut ke publik serta menjelaskan sejelas-jelasnya kepada masyarakat.
“Siapapun itu yang melakukan pelanggaran seperti itu harus dipecat,” tambah dia.
Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina juga mendesak Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja agar dihukum berat. Wakil rakyat yang berada di komisi bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak ini mengatakan bahwa AKBP Fajar juga terindikasi penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu.
"Harus dihukum maksimal. Apalagi, dia sebagai Kapolres seharusnya memberi contoh, bukan merenggut masa depan anaknya sendiri, benar-benar perbuatan biadab," kata Selly dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Saat ini, AKBP Fajar sudah dicopot dari jabatannya dan tengah berproses pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) di lingkungan Polri. Namun, Selly menegaskan bahwa hal itu tidak memberikan rasa puas bagi hukum di negara ini.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) serta UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dia mendesak hukuman maksimal wajib diberikan kepada lulusan Akpol pada 2004 ini. Jeratan Pasal 13 UU TPKS bisa diberikan kepada yang bersangkutan dengan hukuman 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Namun, karena pelaku adalah pejabat daerah dan keluarga, hukumannya bisa diperberat sepertiga atau tambahan 5 tahun serta perekaman yang membuat dirinya bisa dituntut tambahan 4 tahun. Selain berkaca dari konsumsi narkotika yang ada, AKBP Fajar melanggar Pasal 127 ayat (1) sebagaimana UU Narkotika.
"Artinya bila di-juncto-kan, serendahnya dia bisa dikenai hukuman 20 tahun. Akan tetapi, karena bejatnya, saya pikir hukuman seumur hidup atau mati lebih pantas," ujarnya.
View this post on Instagram