REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Kementerian Luar Negeri Qatar telah menyerukan “peningkatan upaya internasional untuk menempatkan semua fasilitas nuklir Israel di bawah perlindungan Badan Energi Atom Internasional (IAEA)”. Mereka juga mendesak agar Israel bergabung dengan perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT).
Duta Besar Qatar, Jassim Yacoub Al Hammadi, mengeluarkan seruan tersebut dalam pertemuan IAEA mengenai kemampuan nuklir Israel dan situasi di wilayah pendudukan Palestina, di Wina pada Sabtu (8/3/2025). Al Hammadi “menunjukkan bahwa semua negara Timur Tengah, kecuali Israel, adalah pihak dalam NPT dan memiliki perjanjian perlindungan yang efektif dengan badan tersebut”.
Dia mencatat bahwa Israel melanjutkan “kebijakan agresifnya” di wilayah pendudukan Palestina, termasuk “meningkatkan seruan ekstremis untuk melakukan pengungsian paksa terhadap rakyat Palestina, mengintensifkan operasi militer terhadap kota-kota dan kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan mempertahankan pembatasan terhadap UNRWA”.
Berdasarkan NPT yang mulai berlaku pada tahun 1970, hanya Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, dan Prancis yang diakui sebagai negara nuklir. Federasi Ilmuwan Amerika memperkirakan bahwa Israel memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir yang menurut federasi tersebut merupakan salah satu program nuklir paling rahasia di dunia.
Sorotan terhadap senjata nuklir yang dimiliki Israel muncul tak lama setelah serangan pejuang Palestina pada 7 Oktober 2023 yang langsung dibalas dengan brutal. Pada November 2023, seorang menteri junior Israel mengungkapkan keterbukaan terhadap gagasan Israel melakukan serangan nuklir di Gaza.
Qatar Calls for Bringing All Israeli Nuclear Facilities Under IAEA Safeguards
Read More: https://t.co/H06f6PRNAr#MOFAQatar pic.twitter.com/cLNBL5TJki
— Ministry of Foreign Affairs - Qatar (MofaQatar_EN) March 8, 2025
Menteri Warisan Budaya Amihai Eliyahu, mengatakan dalam sebuah wawancara radio, bahwa opsi nuklir akan menjadi “salah satu cara” untuk menangani Gaza, yang menyiratkan bahwa Israel tidak hanya memiliki senjata nuklir – sesuatu yang tidak pernah diakui oleh negara tersebut – namun juga bersedia menggunakannya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat itu langsung memberhentikan menteri tersebut dari partai sayap kanan di pemerintahan koalisi dan dari pertemuan kabinet “sampai pemberitahuan lebih lanjut”.
Selama tahun 1960-an, dilaporkan Foreign Policy berdasarkan arsip yang baru-baru terkuak Israel membuat bom tersebut dengan sangat rahasia. Mereka bahkan menipu pemerintah AS mengenai aktivitas dan tujuan mereka.
Pemimpin pertama Israel, David Ben-Gurion, memprakarsai proyek nuklir Israel pada pertengahan hingga akhir tahun 1950-an, dengan mendirikan kompleks nuklir Israel di Dimona, pada masa ketika hanya tiga negara yang memiliki senjata nuklir. Satu dekade kemudian, menjelang Perang Enam Hari tahun 1967, Israel diam-diam merakit perangkat nuklir pertamanya.
Melawan oposisi keras AS, yang dipimpin oleh Presiden John F Kennedy, para pemimpin Israel bertekad untuk mencapai tujuan mereka. Mereka melihat proyek nuklir sebagai sebuah komitmen untuk menjamin masa depan negara mereka.