Senin 03 Mar 2025 18:19 WIB

Golkar Sebut Korupsi Pertamina dengan Kepemimpinan Bahlil Sebagai Menteri ESDM tak Sinkron

Kejagung pun telah menetapkan sembilan tersangka dalam dugaan korupsi tersebut.

Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) saat dibawa ke sel tahanan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus - Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung). RS Ditetapkan tersangka korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina 2018-2023.
Foto: Bambang Noroyono
Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) saat dibawa ke sel tahanan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus - Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung). RS Ditetapkan tersangka korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina 2018-2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan korupsi di lingkungan Pertamina yang saat ini tengah diusut Kejaksaan Agung menjadi perhatian publik. Korupsi yang terjadi pada 2018-2023 itu disinyalir merugikan keuangan negara mencapai Rp 1 kuadriliun.

Kejagung pun telah menetapkan sembilan tersangka dalam dugaan korupsi tersebut. Namun dalam perkembangannya, sejumlah pihak justru menyeret nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam pusaran mega korupsi tersebut.

Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar, Nurul Arifin pun angkat bicara ihwal kasus korupsi yang menyeret nama ketumnya tersebut. Nurul mengatakan tuduhan tersebut salah alamat.

“Narasi yang menyebut Pak Bahlil terlibat kasus korupsi di Pertamina merupakan fitnah. Pak Bahlil saja baru menjabat Menteri ESDM pada Agustus 2024, sementara skandal korupsi itu terjadi pada 2018-2023,” tegas Nurul Arifin dalam keterangannya, Senin (3/3/2025).

Atas dasar itu, kata Nurul, Menteri Bahlil tidak memiliki keterlibatan dalam setiap keputusan yang dibuat dalam periode tersebut.

Nurul bahkan menjelaskan Menteri Bahlil menitahkan produksi minyak mentah dalam negeri harus diolah melalui fasilitas pengolahan minyak atau kilang dalam negeri sehingga Kementerian ESDM tak mengizinkan lagi produksi minyak diekspor ke luar negeri.

“Justru Kementerian ESDM di bawah kepemimpinan Pak Bahlil tengah berbenah saat ini soal tata kelola minyak mentah melalui izin impor BBM yang bakal dipersingkat menjadi enam bulan dari yang sebelumnya satu tahun. Tujuannya agar evaluasi bisa mudah dilakukan setiap tiga bulan,” ungkapnya.

Nurul pun berharap agar publik lebih cerdas dan kritis dalam menilai kasus ini sehingga tidak ada salah persepsi dalam mengawal kasus korupsi yang merugikan rakyat tersebut.

“Ini menjadi pelajaran kita bersama, pihak terkait harus bertanggung jawab atas dugaan kasus korupsi ini. Ini saatnya bagi kita semua berbenah terutama di lingkungan Pertamina agar bisa jauh lebih baik ke depan terkait pelayanan publik,” imbau Nurul.

Pengamat komunikasi dari London School of Public Relations (LSPR) Ari Junaedi menilai tidak tepat jika Menteri Bahlil menjadi objek sasaran kemarahan masyarakat terutama warganet di media sosial soal kasus korupsi di Pertamina tersebut.

Ari menjelaskan, secara kronologi kasus korupsi di Pertamina tidak berbarengan dengan masa jabatan Bahlil sebagai Menteri ESDM.

“Tuduhan atau opini publik terhadap Menteri Bahlil dalam skandal korupsi di Pertamina ini menurut saya salah alamat. Buktinya apa? kita lihat saja periode jabatan Bahlil sebagai Menteri ESDM pada Agustus 2024. Sementara korupsi terjadi pada 2018-2023,” kata Ari Junaedi.

Ari yang juga Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama ini menilai ada muatan politis dalam narasi keterlibatan Menteri Bahlil dalam dugaan korupsi tersebut mengingat Bahlil sebagai Menteri ESDM juga sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

“Isu reshuffle, isu korupsi di Pertamina, ini kental sekali muatan politik di belakangnya yang ingin menggoyang kepemimpinan Pak Bahlil sebagai pucuk pimpinan Golkar. Publik harus lebih pintar lagi dalam menyaring informasi karena sekali lagi saya ingatkan, tidak ada musim politik. Politik itu dinamis dan bisa menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan,” tegas Ari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement