Kamis 13 Feb 2025 11:58 WIB

Pengamat Nilai KUHAP yang Lama Bikin APH Terkotak-kotak

Kondisi kerja jaksa dan penyidik yang kolaboratif harus diatur KUHAP.

Pakar hukum Suparji Ahmad menilai KUHAP yang lama membuat aparat penegak hukum terkotak-kotak.
Foto: istimewa/doc pribadi
Pakar hukum Suparji Ahmad menilai KUHAP yang lama membuat aparat penegak hukum terkotak-kotak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum Suparji Ahmad, menilai, dengan konsep KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang menganut prinsip deferensial fungsional, setelah, 43 tahun berlaku, baru terasa saat ini bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) itu terkotak-kotak dalam kinerjanya.

Hal itu, kata Suparji, tidak mencerminkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang diharapkan. Akibatnya tidak tercapai apa yang diharapkan karena terganggunya sinkronisasi dan harmonisasi kinerja APH.

“Contohnya, dan ini hanya contoh teoris saja, apabila terjadi rekayasa berkas perkara dalam proses penyidikan, maka Jaksa tidak bakal tahu karena menurut KUHAP, Jaksa hanya membaca apa yang ada di berkas perkara. Seandainya itu benar-benar terjadi maka yang dirugikan adalah para pencari keadilan,” ungkap Suparji, Rabu (12/2/2025).

Menurut Suparji, sebenarnya kejaksaan tidak akan pernah memperluas kewenangan atau bahkan mengambil kewenangan lembaga lain. Namun hal yang harus didorong adalah perubahan paradigma dalam mekanisme kerja antara Penyidik dan Jaksa.

“Jika dulunya antara Penyidik dan Jaksa bekerja secara terpisah, menjadi Penyidik dan Jaksa bekerja bersama-sama dalam menegakkan hukum pidana,” jelasnya.

Kondisi kerja yang kolaboratif antara Penyidik dan Jaksa inilah, menurut Suparji, yang harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang. Menurutnya, Penyidik dan Jaksa adalah lembaga yang ada dalam satu rumpun eksekutif. Sehingga organ kelengkapan di dalamnya tidak boleh terkotak-kotak.

“Jadi dalam sistem peradilan pidana nantinya yang melakukan kontrol atas kerja Penyidik dan Jaksa adalah Hakim (Pengadilan) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif,” kata Suparji.

Konsep mekanisme kerja yang kolaboratif, menurut Suparji, cocok bagi bangsa Indonesia. Hal ini karena Indonesia berpaham integralistik. Artinya bisa bekerja bersama-sama secara gotong royong.

“Konsep deferensiasi fungsional sebagaimana dianut KUHAP yang saat ini berlaku disusun berdasarkan paham individualistik ala barat, yang tidak cocok bagi kita sebenarny,” ungkap dia.

Bahkan, lanjut Suparji, yang menjadi ironi sistem peradilan di barat, contohnya Amerika atau Belanda atau bahkan Korea Selatan, mengusung konsep kebersamaan kerja antara Penyidik dan Jaksa. “Jadi pada kenyataannya mereka yang berpaham individualistik malah lebih integral dalam membuat dan mengatur hubungan kerja antara Penyidik dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana mereka,” papar Suparji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement