Sabtu 08 Feb 2025 17:21 WIB

Sejak Kapan Yahudi Punya Jejaring di Indonesia?

Pada masa kolonial, beberapa warga Yahudi mendapat posisi tinggi di pemerintahan.

Para penganut Yahudi di Tembok Ratapan (ilustrasi)
Foto: abc.net.au
Para penganut Yahudi di Tembok Ratapan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bung Karno pernah menyatakan bahwa PBB nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab. Pernyataan itu dikemukakan saat Indonesia keluar dari organisasi dunia tersebut pada 1 Januari 1965.

Konon, warga Yahudi sudah sejak kolonial Belanda banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) -- dua kawasan etlie di Batavia kala itu -- seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company.

Baca Juga

Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.

Sejumlah manula yang diwawancarai menyatakan, pada tahun 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab.

Konon pula, keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab. Maklum, kala itu Israel belum terbentuk. Seperti misal keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak.

Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Kaum Yahudi di Indonesia pun memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.

Menurut majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri.

Mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Pada hari Sabat, warga Yahudi bernyanyi sambil membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka.

Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu.

photo
Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). - (Dok Bappenas)

sumber : Nostalgia Abah Alwi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement