REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecelakaan pesawat Jeju Air di Bandara Internasional Muan yang menewaskan 179 orang pada Ahad (29/12/2024) menunjukkan pentingnya strategi mitigasi sistematis untuk mengurangi risiko bird strike atau tabrakan antara pesawat dan burung di bandara. Pegiat konservasi burung Indonesia Achmad Ridha Junaid mengatakan, meskipun bird strike tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, pengelola bandara memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi penerbangan.
Ia menambahkan pengelolaan habitat burung yang baik adalah salah satu strategi utama dalam mitigasi risiko ini. Idealnya, bandara tidak dibangun di lahan yang menjadi habitat burung. Namun, jika sudah terlanjur, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi daya tarik area tersebut bagi burung.
Achmad menjelaskan pengelola bandara dapat mengurangi atau menghilangkan sumber daya yang menarik burung, seperti makanan, air, dan vegetasi tertentu.
“Untuk mencegah datangnya burung, pengelola dapat menjaga kebersihan area bandara dan ketinggian rumput yang menjadi habitat utama burung di bandara,” kata Achmad dalam pernyataannya, Jumat (3/1/2024).
Penggunaan alat pengusir burung juga dianggap krusial. Alat seperti suara predator, laser, dan burung pemangsa terlatih dapat digunakan untuk menjauhkan burung dari area kritis. “Pendekatan ini diperkuat dengan pemantauan dan survei populasi burung secara berkala. Informasi tentang pola migrasi atau aktivitas burung lokal digunakan untuk menentukan waktu dan lokasi risiko tertinggi,” kata Achmad.
Teknologi modern juga berperan penting dalam mitigasi bird strike. Radar dan sistem deteksi real time memungkinkan bandara untuk mendeteksi keberadaan burung di udara dan mengambil tindakan pencegahan dengan cepat. “Sementara itu, kolaborasi dengan ahli biologi juga diperlukan untuk memahami perilaku spesifik spesies burung di sekitar bandara sehingga strategi mitigasi dapat disesuaikan,” ungkapnya.
Achmad menyoroti kolaborasi antara pengelola Bandara Internasional Soekarno Hatta dan Burung Indonesia dalam kajian risiko bird strike. Dalam kajian tersebut, blekok sawah (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) diidentifikasi sebagai dua spesies paling berisiko.
Penilaian ini didasarkan pada perilaku berkelompok, massa tubuh, ketinggian terbang rata-rata, dan tingkat pengendaliannya. “Manajemen habitat padang rumput dan semak dilakukan karena area ini menjadi daya tarik utama bagi kedua spesies yang berisiko tinggi tersebut,” katanya.
Selain tindakan di lapangan, pendidikan dan pelatihan bagi staf bandara dan awak pesawat juga menjadi elemen krusial. Menurutnya sangat penting semua pihak memahami risiko bird strike dan dapat merespons secara cepat dan tepat jika ancaman terdeteksi.