Sabtu 28 Dec 2024 05:00 WIB

Petinggi Gerindra Kompak Bela Prabowo, Tepis Isu Pidana, Sebut Mahfud MD Orang Gagal

Mahfud MD dinilai keliru dan salah menangkap pesan dari Prabowo.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Guru Besar Hukum Tata Negara UII Mahfud MD
Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Guru Besar Hukum Tata Negara UII Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA — Para pembantu dan anak buah Presiden Prabowo Subianto menangkis tudingan mantan Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.  Guru Besar UII itu sebelumnya menyebut adanya ancaman jeratan pidana yang bisa menjerat kepala negara sekalipun, jika tetap nekat memberikan maaf dan pengampunan terhadap koruptor.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pernyataan Mahfud MD tersebut reaksi salah menangkap pesan. Respon itu pun keliru dari sisi konteks terkait pemberian maaf, atau pengampunan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo.

Baca Juga

“Bahwa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sama sekali Bapak Presiden tidak akan memberikan toleransi. Kalaupun akan ada pengampunan, setelahnya diikuti dengan proses penegakan hukum yang sangat keras. Bahkan beliau (Presiden Prabowo) mewanti-wanti supaya jangan sampai ada aparat penegak hukum untuk membekingi terhadap satu kasus tersebut,” kata kata Supratman saat konfrensi pers di Kementerian Hukum di Jakarta Selatan, Jumat (27/12/2024).

Supratman mengungkit pendapat Mahfud MD yang betebaran di banyak pemberitaan nasional tentang Presiden Prabowo bisa dijerat dengan Pasal 55 KUH Pidana jika tetap mengambil langkah pengampunan terhadap koruptor.

“Bahkan ada yang menyatakan kalau Presiden mengampuni koruptor, Presiden bisa dijerat dengan Pasal 55 KUH Pidana,” kata Supratman.

Namun Supratman pernyataan Mahfud MD tersebut melupakan hak konstitusional seorang Presiden Prabowo sebagai kepala negara. Menurut Supratman, Pasal 14 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memberikan hak dan kewenangan seorang presiden dalam pemberian amnesti, abolisi, grasi, ataupun rehabilitasi kepada narapidana untuk semua jenis tindak pidana.

Itu artinya, kata Supratman, presiden sebagai kepala negara juga dapat memberikan maaf, pengampunan, atau pun penghapusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

“Namun apakah nanti ke depannya proses ini yang akan ditempuh (oleh Presiden Prabowo)? Belum ada keputusan sama sekali. Itu baru sebatas wacana yang dilontarkan. Bahwa wacana untuk memaafkan koruptor itu perkara baru? Itu juga sudah lama,” kata Supratman.

Bahkan, menurut politikus Partai Gerindra itu, Mahfud MD saat pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) 2001 silam, pernah juga mewacanakan untuk memberikan pengampunan berupa amnesti, maupun abolisi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.

“Prof Mahfud juga (pernah) menyebutkan pada saat menjabat sebagai menteri kehakiman, beliau sampaikan pernah mengusulkan itu (pengampunan terhadap koruptor) dengan menempuh beberapa cara. Bahkan beliau (Mahfud MD) menyampaikan bisa mencontoh apa yang dilakukan di Latvia, atau di Afrika Selatan,” kata Supratman.

Karena itu, menurut Supratman penyampaian Mahfud MD perihal Presiden Prabowo bisa dijerat dengan sangkaan penyertaan seperti dalam Pasal 55 KUH Pidana jika memberikan pengampunan, atau maaf kepada para koruptor sebagai reaksi berlebihan.

Mahfud MD, kata Supratman seperti lupa bahwa Pasal 14 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusionalitas untuk kepala negara dalam memberikan amnesti, abolisi, grasi, pun rehabilitasi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana. Termasuk di dalamnya adalah untuk para narapidana terkait kasus-kasus korupsi.

“Mau tindak pidana apapun, Presiden diberikan hak untuk dapat memberikan empat hal tersebut (amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi). Tetapi apakah Presiden akan menjalankan itu? Kita tunggu nanti seperti apa kebijakannya. Tetapi, kalau pertanyaan boleh atau tidak? Boleh,” ujar Supratman.

Atas kebolehan menurut UUD 1945 tersebut, menurut Supratman, adalah pendapat yang tendensius jika pemberian maaf, pengampunan, ataupun penghapusan pidana terhadap koruptor tersebut bisa berujung pada pemidanaan terhadap Presiden Prabowo.

“Yang saya ingin sampaikan, jangan membenturkan seolah-seolah kalau Presiden mengambil langkah itu, kemudian dianggap ‘turut-serta’ menggunakan Pasal 55 KUH Pidana. Sementara Undang-undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukan amnesti, abolisi, grasi, rehabilitasi terhadap semua jenis tindak pidana,” begitu kata Supratman.

Mahfud Disebut Orang Gagal

Dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Komisi III Habiburokhman menuding pernyataan Mahfud MD seperti penghasutan. Kata politikus Partai Gerindra itu, seolah-olah Presiden Prabowo dalam wacana pemberian amnesti, ataupun abolisi terhadap narapidana korupsi sebagai kampanye untuk sama-sama masuk jurang pelanggaran hukum.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement