REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Kemajuan pesat kelompok pemberontak Suriah pada pekan lalu telah mengubah kondisi garis depan negara itu secara dramatis. Gerakan milisi telah menjungkirbalikkan asumsi yang telah lama berlaku tentang konflik Timur Tengah yang tampaknya menemui jalan buntu.
Kelompok di balik perkembangan dramatis ini, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang memegang peran penting dalam perang saudara yang telah berlangsung lama di negara itu.
Berakar pada hari-hari awal pemberontakan Suriah tahun 2011, Organisasi untuk Pembebasan Suriah bergerak kini mulai lagi bergerak maju dari benteng pertahanan di pedesaan barat laut untuk menguasai sebagian besar wilayah negara yang telah lama berada di bawah cengkeraman pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
HTS mengejutkan banyak orang — termasuk mereka sendiri — ketika sukses menguasai Aleppo, kota terbesar kedua di negara itu, dengan perlawanan minimal dari pasukan pemerintah.
Mereka kemudian bergerak lebih jauh ke selatan dalam dua hari terakhir, menuju ibu kota Damaskus saat pertempuran pecah di sejumlah kota di seluruh negeri.
"Kami berhasil menembus garis pertama, lalu garis kedua dan ketiga," kata Jenderal Ahmed Homsi, komandan unit yang telah mencoba mengoordinasikan serangan pemberontak, dalam sebuah wawancara dengan NPR.
"Kami menyerang posisi kepemimpinan dan berhasil memutus komunikasi antara mereka dan pasukan mereka. Itu menciptakan kekacauan besar bagi mereka. Itu adalah kekalahan psikologis yang besar."
Kirim masukan
HTS telah bertransformasi berulang kali selama bertahun-tahun sejak perang saudara Suriah dimulai pada 2011, dengan perubahan nama, perpecahan personel, dan peran yang diperluas di provinsi barat laut negara itu, Idlib.
Kelompok milisi ini telah lama ditetapkan oleh AS dan negara Barat sebagai organisasi teroris. Mereka dikenal juga sebagai Jabhat al-Nusra ketika membentuk aliansi formal dengan Alqaidah lebih dari satu dekade lalu.
Namun dalam beberapa tahun terakhir HTS telah secara terbuka menolak terorisme internasional dan mencoba menampilkan wajah yang lebih moderat. Demikian menurut Charles Lister, direktur Program Suriah di lembaga pemikir Middle East Institute di Washington D.C.
"Kelompok ini telah sepenuhnya menjauh dari agenda global apa pun. Mereka telah berubah menjadi nasional," kata Lister. "Namun, tidak diragukan lagi, kelompok ini mempertahankan fondasi keagamaan yang sangat konservatif."