REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingginya angka golongan putih (golput) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 memunculkan wacana gubernur dipilih melalui DPRD atau presiden mewakili pemerintah pusat. Hal itu didasarkanbiaya untuk menggelar pemilihan gubernur (pilgub) cukup tinggi, sementara partisipasi pemilih rendah.
Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menilai, hal itu masih sekadar wacana. Menurut dia, setiap orang bebas untuk mewacanakan sesuatu. Namun, penerapannya tetap harus melalui kajian yang mendalam, bukan sekadar usulan partai politik.
"Jadi saat ini, sekarang ini masih berupa wacana, bebas-bebas saja. Kalau saya menyarankan, kita kumpulkan masukan naskah akademik dari berbagai stakeholder. Jadi bukan hanya dari sudut pandang politik saja," kata Dede saat ditemui di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2024).
Politikus Partai Demokrat tersebut mengatakan, untuk menentukan metode pemilu gubernur, harus ditentukan terlebih dahulu batasan otonomi daerah. Artinya, peran provinsi juga harus dipastikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat atau sebagai kepala daerah otonom.
Untuk merinci hal itu, Dede menilai, harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah. Setelah itu, proses pemilihan gubernur bisa ditentukan metodenya.
Dede mengakui, tingkat partisipasi pemilih untuk pilkada di level provinsi lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota. Hal itu menandakan bahwa pemilihan gubernur secara langsung kurang menjadi perhatian warga secara umum.
"Yang jelas saat ini partisipasi yang paling banyak itu justru yang kabupaten-kota, berbanding yang provinsi. Nah itu tandanya calon provinsinya mungkin kurang menjadi daya tarik untuk membuat pemilih berpartisipasi," kata Dede.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PKB DPR Jazilul Fawaid mengatakan bahwa partainya sedang mengkaji gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat atau melalui mekanisme DPRD, dikarenakan biaya untuk pemilihan gubernur terlalu tinggi. "Gubernur fungsinya hanya koordinator. Karena kan kita rezimnya otonomi daerah," kata Jazilul di Jakarta, Jumat (29/11/2024) malam WIB.
Jazilul mencontohkan, pelaksanaan pilkada di Jawa Barat, untuk mencari seorang gubernur yang fungsinya hanya sebagai koordinator harus menghabiskan anggaran hingga Rp 1 triliun lebih. Kondisi itu, lanjut Jazilul, tentu kurang ideal dengan kinerja gubernur. Anggaran sebesar itu dapat digunakan hal yang lebih bermanfaat dan mendasar terutama pendidikan dan kesehatan.