Kamis 15 Aug 2024 05:06 WIB

Pemerintah Kumpulkan Aspirasi Perbaikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Undang Undang KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi.

UU KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi.
Foto: Kominfo
UU KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JARKATA -- Seiring dinamika dan perkembangan teknologi yang makin mutakhir, aturan dan kebijakan pemerintah perlu disesuaikan supaya tetap relevan. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah berusia lebih dari satu dekade sejak diterbitkan.

UU KIP merupakan dasar hukum yang kuat untuk membangun rasa saling percaya antara pemerintah dengan masyarakatnya. “UU KIP mengatur kewajiban badan publik untuk mempublikasikan informasi publik secara proaktif. Ini adalah langkah yang bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kepentingan lain secara sah," ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Usman Kansong, di Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D di Jakarta.

Baca Juga

Regulasi ini juga mengatur mekanisme permintaan informasi publik oleh pemohon informasi sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional. Penyesuaian dan perubahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi atau Freedom of Information Act (FOIA), menurut Usman telah terjadi di beberapa negara sesuai konteks masing-masing.

"Amerika Serikat misalnya, melakukan perubahan signifikan pada tahun 2016 untuk meningkatkan aksesibilitas digital dan memperkuat kewajiban pemerintah dalam merilis informasi," kata Usman melanjutkan.

Sejalan dengan itu, Ditjen IKP mengadakan diskusi-diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait isu keterbukaan informasi publik. Ditjen IKP menyusun draf naskah akademik revisi UU KIP, dengan dukungan dari Pusat Studi Kebijakan Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Aspirasi yang terkumpul tentang kebutuhan revisi UU KIP, dijelaskan Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Hasyim Gautama, dikelompokkan menjadi beberapa kluster. Temuan-temuan tersebut tentunya menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan draf naskah akademik revisi UU KIP.

“Kami membentuk kluster-kluster temuan masalah untuk revisi UU KIP ini. Seperti terkait dengan pemohon dan badan publik, proses pengelolaan informasi publik, termasuk Komisi Informasi (KI), informasi publik, penyelesaian sengketa, dan pasal-pasal spesifik yang perlu direvisi,” ujar Hasyim.

Ia menjelaskan berbagai aktivitas berupa pengumpulan data dan Focus Group Discussion (FGD) telah dijalankan sejak 2023. Hingga pada 15 Desember 2023, Ketua Komisi Informasi Pusat menyerahkan salinan naskah kajian atas UU KIP yang disusun oleh Komisi Informasi Pusat kepada Menteri Kominfo, untuk disusun menjadi bagian dari usulan pemerintah.

Hingga saat ini, proses penelitian terhadap revisi UU KIP masih berlangsung. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Wicaksana Dramanda, menjelaskan UU KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi. Salah satu yang fundamental adalah terbatasnya definisi dari badan publik yang terikat dengan UU KIP.

“Seperti perusahaan yang mendapatkan konsesi negara, seharusnya memiliki fungsi layanan publik. Tetapi karena tidak didanai oleh APBN atau APBD maka dikecualikan oleh entitas badan publik yang harus terikat oleh UU KIP,” kata Wicaksana menjelaskan.

Celah lainnya yang perlu diperbaiki dari UU KIP adalah ruang lingkup pemohon informasi yang terbatas, dan adanya Vexatious Request (permintaan yang menyusahkan). Berikutnya adalah waktu penyediaan informasi yang lama, klasifikasi informasi yang kompleks, ketiadaan pengaturan operasionalisasi uji konsekuensi, dan penegakan keterbukaan informasi yang belum efektif dan efisien, karena kelembagaan KI yang belum optimal.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement