Oleh Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT – Pembantaian terus menerus Israel di Gaza dan pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran membangkitkan perlawanan pejuang-pejuang muda Palestina di Tepi Barat. Perlawanan yang dilakukan pejuang lokal di berbagai wilayah Tepi Barat terus meningkat meski ditekan habis-habisan oleh Israel. Bagaimana riwayat gerakan perlawanan tersebut?
Yang terkini, bentrokan meletus antara pejuang perlawanan Palestina dan pasukan pendudukan selama serangan mereka di sekitar kamp Balata di sebelah timur kota Nablus di Tepi Barat yang diduduki pada Rabu malam. Aljazirah Arabia melansir klip video yang menangkap suara tembakan otomatis yang dahsyat di kamp pengungsi Palestina yang terletak di sebelah timur Nablus. Kantor berita WAFA melaporkan bahwa pasukan Israel menyerbu kamp tersebut pada Rabu malam dan mendapat serangan dari pejuang perlawanan Palestina setempat.
Brigade Al-Quds-Batalyon Nablus mengumumkan bahwa mereka menargetkan "pasukan pendudukan yang menyerbu Nablus dengan hujan peluru, dan kami terus menghadapi penjajah."
Bagaimana awalnya kebangkitan pejuang di Tepi Barat belakangan? Sedianya, kebangkitan itu sudah jauh sebelum Operasi Topan al-Aqsa pada Oktober 2023. Kamp pengungsi Jenin menjadi rumah bagi para pejuang yang membentuk kelompok perlawanan itu pada 2021. Dilaporkan Aljazirah, ratusan pejuang bergabung di bawah panji Brigade Jenin yang terdiri atas para pejuang dari beberapa faksi bersenjata. Pejuang dari kelompok Jihad Islam Palestina, Fatah, dan Hamas juga diduga aktif di Jenin.
Peningkatan jumlah pemuda Palestina yang mengangkat senjata ini seiring meningkatnya operasi militer Israel dan upaya untuk memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat. Bersamaan dengan Gaza, Jenin kini menjadi simbol utama perlawanan Palestina. Brigade Jenin hanyalah salah satu kelompok yang baru muncul. Mereka menunjukkan kekecewaan yang meningkat terhadap Otoritas Palestina dan frustrasi terhadap pendudukan Israel yang sedang berlangsung.
Para pejuang muda ini sangat terlokalisasi. Mereka beroperasi di parit kamp pengungsi dan kota tua. Sebagian besar pemuda berasal dari seantero Tepi Barat, dari gurun Jericho yang sepi hingga Nablus yang luas di utara dan pengungsi Jenin. Mereka sering terlihat membawa senapan M16 dan mengenakan balaclava agar tidak teridentifikasi.
“Brigade Jenin adalah organisasi bersenjata Palestina yang muncul pada 2021 di Kota Jenin dan berbasis di kamp Jenin dan dianggap sebagai salah satu kelompok modern yang muncul di Tepi Barat. Sedangkan, Lion’s Den berbasis di Kota Nablus. Hari ini, beberapa dari mereka tiba di Jenin untuk membantu menghadapi penjajah di Jenin dan membantu perlawanan di sana,” ujar Konsultan Yayasan Persahabatan dan Studi Peradaban Dr Ahed Abu Al Atta kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Ia menyatakan, kelompok-kelompok baru ini tak terafiliasi dengan kekuatan tradisional, tapi mereka mendapatkan dukungan yang meluas. “Tentu saja faksi-faksi Palestina mendukung mereka. Tapi, mereka bekerja dengan semua orang Palestina. Dan orang-orang memfasilitasi mereka dengan segala kebutuhan, sangat mencintai mereka dan memberi mereka perlindungan,” Dr Ahed menambahkan.
Ia juga mengindikasikan ada semacam ketakpuasan atas perkembangan negosiasi Pemerintah Palestina saat ini yang mendorong perlawanan tersebut. “Intifada membutuhkan unsur-unsur besar dan saat ini kendala terbesar bagi terbentuknya intifada adalah koordinasi keamanan dengan pendudukan oleh penguasa. Namun, peristiwa ini dapat menjadi indikasi berkembangnya aksi perlawanan,” kata dia.
Menurutnya, perlawanan terkini akan punya dampak panjang. Setiap tekanan yang dihadapi warga Palestina, menurut Dr Ahed, akan membuat perlawanan Palestina semakin kuat, semakin kompak, dan semakin bertenaga.
Sedangkan Dr Achmed Mohammed Omar al Madani, seorang warga Palestina yang juga pakar terkait konflik di wilayah tersebut mengingatkan bahwa Israel pernah melakukan tindakan pemberantasan serupa pada 2002. Saat itu, mereka berpikir telah mengenyahkan akar perlawanan di Jenin setelah membunuh ratusan orang di pengungsian tersebut. “Sekarang setelah 20 tahun, muncul generasi-generasi pejuang baru ini,” kata dia kepada Republika.
Al Madani menjelaskan, kelompok bersenjata itu muncul dari ketidakpuasan dan keputusasaan akan kondisi terkini. Kekuatan-kekuatan politik di Palestina tak kunjung bisa menegosiasikan kemerdekaan. Sementara ada ancaman nyata dari Israel yang dipimpin kelompok sayap kanan yang tak ragu melancarkan perang dan pembunuhan.
Selain itu, para pemukim ilegal Yahudi kian merangsek ke wilayah Tepi Barat dan melakukan serangan terhadap warga Palestina. “Jadi apa yang harus kami lakukan? Komunitas internasional tak bisa membantu kami, Otoritas Palestina tak bisa membantu kami. Kami tak punya pilihan selain mengangkat senjata!” ujar Al Madani berapi-api.
Ia meyakini, perlawanan yang bangkit belakangan tak akan dengan mudah diberantas Israel. Pada 2002, Israel berpikir dengan memberantas perlawanan pejuang senior, anak-anak muda Palestina akan lebih moderat. Yang terjadi justru sebaliknya. “Mereka pernah mencoba pada 2002 tapi tak berhasil. Apalagi sekarang dengan teknologi seperti ini!? Apapun yang terjadi, ide perlawanan Palestina tak akan musnah sampai kami merdeka”.
Aboud, seorang pemuda di Ramallah, mengiyakan harapan generasinya kepada para pejuang muda tersebut. Ia sudah tak peduli lagi dengan pertentangan antarfaksi di Palestina. “Singa-singa ini yang akan menyelamatkan kami semua. Sekarang giliran generasi kami berjuang untuk tanah air kami,” kata dia, dilansir the Christian Science Monitor.
Dalia Hatuqa, kolumnis Foreign Policy yang berbasis di Tepi Barat, menganalisis, secara tradisional, kelompok militan Palestina berfungsi sebagai sayap bersenjata partai politik, seperti Hamas dan Fatah dari Otoritas Palestina. Operasi milisi mendukung tujuan politik partainya. Namun, selama intifada kedua, serangan serigala tunggal alias lone wolf lebih meluas.
Sebagai buntut pemberontakan, dan di bawah tekanan intelijen Israel, banyak kelompok tradisional melihat barisan mereka menyusut dan struktur organisasi runtuh. Ini memberi jalan bagi model perlawanan yang terdesentralisasi, dengan sel-sel kecil dan faksi-faksi yang memisahkan diri mendominasi lanskap militan.
Sejak 2022, para pejuang dari berbagai faksi tradisional mulai bekerja sama di bawah payung baru. Banyak pemuda memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri setelah tumbuh dewasa melihat kubu pendudukan Israel, pengeboman rutin Jalur Gaza, dan pertumbuhan permukiman Israel. Mereka juga kecewa dengan Otoritas Palestina (PA), yang strategi politiknya tidak membuahkan hasil nyata selama hidup mereka.
Lion’s Den alias Kandang Singa di Nablus dan Brigade Jenin adalah kelompok baru yang terbesar. Tetapi, kelompok yang lebih kecil juga muncul, seperti Brigade Balata di kamp pengungsi Balata dan Batalyon Osh al-Dababir (Sarang Lebah), juga di kamp Jenin.
Lion’s Den secara teratur terlibat dalam bentrokan bersenjata dan penembakan terhadap tentara dan pemukim Israel di Tepi Barat. Oktober lalu, kelompok itu menembak dan membunuh seorang tentara Israel di wilayah pendudukan. Pada Februari, Batalyon Nablus, Sarang Singa, dan Brigade Martir al-Aqsha (sayap bersenjata Fatah) di Nablus mengatakan, anggota mereka telah menembak pasukan Israel yang menyerbu kota.
Munculnya kelompok-kelompok ini tidak mengejutkan para pengamat jika mengingat tangan besi yang digunakan Israel untuk menguasai Tepi Barat dan ketidakmampuan Otoritas Palestina untuk menindak kelompok-kelompok ini tanpa menimbulkan kemarahan publik. “Lions’ Den dan pejuang lain di kota-kota Tepi Barat adalah produk alami dari 30 tahun kegagalan internasional mengakhiri pendudukan Israel,” kata Nour Odeh, mantan juru bicara pemerintah PA, dilansir Foreign Policy. “Itu juga merupakan respons wajar terhadap kebangkitan partai-partai fasis-rasial di Israel yang agendanya mengancam keberadaan rakyat Palestina.”
Perlawanan terkini... baca halaman selanjutnya