Kamis 25 Jul 2024 13:31 WIB

Ancaman Baru Dunia Digital, Studi Ungkap Sebagian Remaja RI Cari Sex Partner Via Aplikasi

Aplikasi kencan daring bisa menjadi senjata baru para pelaku kekerasan seksual.

 Seseorang menunjukkan sejumlah aplikasi yang ada di telepon pintarnya. (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Seseorang menunjukkan sejumlah aplikasi yang ada di telepon pintarnya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI mengungkapkan sebanyak 13,9 persen remaja di Indonesia menggunakan aplikasi kencan daring. Mereka mencari pasangan untuk berhubungan seksual atau sex partner.

"Studi ini menemukan ada 13,9 persen responden remaja yang menggunakan aplikasi kencan online untuk mencari sex partner atau pasangan seksual," kata Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Anastasia Septya Titisari dalam seminar yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Baca Juga

Peneliti BRIN yang disapa Titis ini menyoroti hal tersebut, sebab pencarian pasangan seksual merupakan salah satu dari tiga motivasi terbesar para remaja dalam menggunakan aplikasi kencan daring, selain mencari jodoh dan merayu atau flirting. Kondisi tersebut, kata dia, memunculkan ancaman baru di dunia digital, berupa pengunggahan foto atau video intim seseorang atau Non-Consentual Intimate Image (NCII).

"Dari berbagai kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), NCII ini jadi sebuah fenomena global yang kerap muncul dalam proses interaksi dunia digital," ujarnya.

Titis menegaskan, penggunaan aplikasi kencan daring bisa meningkatkan risiko KBGO, karena dapat membuka ruang individu para penggunanya.

"Studi menemukan secara umum aplikasi kencan ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami kekerasan seksual. Studi yang sama juga menemukan perempuan sebagai kelompok yang riskan dalam mengalami kekerasan seksual," ungkapnya.

Menurut Titis, penggunaan aplikasi kencan daring bisa menjadi senjata baru para pelaku kekerasan seksual. Sebabnya, para pelakunya dapat tampil secara anonim dengan memalsukan identitasnya.

Kondisi tersebut, sambungnya, diperparah dengan tidak optimalnya kebijakan pemblokiran akun atau ban, karena para pelaku dapat mendaftar kembali dengan menggunakan alamat surel baru. Oleh karena itu, ia menekankan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran digitalnya, serta mengajarkan para remaja untuk tidak membagikan konten pribadinya secara digital.

"Mari kita saling mengingatkan agar selalu berhati-hati dalam memilih teman secara online, dan bijak dalam bersosial media dengan memahami konsep persetujuan dan menghormati privasi orang lain," tutur Titis.

 

 

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)
 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement