Senin 22 Jul 2024 21:05 WIB

Saat Gunung Gede-Pangrango Diselimuti Es, Salju di Puncak Jaya Malah Terus Mencair

Salju di puncak Gunung Jayawijaya dalam situasi mengkhawatirkan.

Paparan BMKG terkait kondisi salju di Puncak Jaya, Jayawijaya, Papua, April 2024.
Foto: Antara
Paparan BMKG terkait kondisi salju di Puncak Jaya, Jayawijaya, Papua, April 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perubahan iklim di Pulau Jawa akhir Juli membuat sejumlah daerah mengalami suhu ekstrem dingin. Salah satunya adalah Gunung Gede-Pangrango di Kabupaten Bogor. Sepanjang akhir pekan lalu, para pendaki yang naik ke Gede-Pangrango terus melaporkan suhu di puncak maupun di Alun-Alun Suryakencana mencapa nol derajat.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada pekan lalu memang sempat menyatakan bahwa sejumlah daerah di Jawa akan mengalami kemarau serta perubahan suhu ke arah dingin. Dosen Meteorologi kampus ITB Muhammad Rais Abdillah memberikan penjelasan terkait kondisi suhu di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat yang sempat mencapai 0 derajat celcius. Ia menilai kondisi tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi awan, angin dan kelembapan.

Baca Juga

 

 

"Secara umum saya jelaskan suhu dingin  di berbagai tempat di musim kemarau di pagi hari ini fenomena umum," ujar Kepala prodi Meteorologi ITB saat dihubungi, Senin (22/7/2024).

Namun uniknya, situasi di Jawa berbeda dengan di kawasan tertinggi di Indonesia, yakni di Kabupaten Puncak Jaya, Irian. Di sini, di Gunung Jayawijaya, dengan suhu terkini mengacu ke laman weather.com -4 derajat celcius, laporan dari BMKG justru menyatakan lapisan es abadi terus tergerus, dan kemungkinan besar akan hilang!

Gunung Jayawijaya adalah gunung es setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut. Ini gunung tertinggi di Indonesia dan masuk ke dalam sirkuit tujuh puncak dunia. Gunung ini dikenal juga dengan nama Cartenz Pyramid.

Dalam pertemuan terakhirnya April lalu, BMKG menemukan ketebalan tutupan es di Puncak Jaya, Papua, berkurang diperkirakan sekitar empat meter berdasarkan pemantauan terakhir pada Desember 2023.

“Hal ini kemungkinan terkait kondisi El Nino pada 2022-2023,” kata Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Klimatologi Pusat Litbang BMKG Donaldi Permana dalam seminar virtual terkait iklim berkelanjutan menyambut Hari Meteorologi Dunia ke-74 di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, BMKG melakukan pemantauan tutupan es atau gletser di Puncak Jaya pada 2009-2023. Dari 2016 hingga 2022, kata dia, rata-rata pengurangan luas es mencapai sekitar 0,07 kilometer persegi per tahun dengan estimasi total luas es pada April 2022 mencapai 0,23 kilometer persegi.

Pada pemantauan 2022, BMKG memperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 mencapai enam meter.  Namun, satu tahun kemudian yakni pada Desember 2023 data terakhir menunjukkan ketebalan es makin menipis dengan pengurangan hingga empat meter atau menyisakan hingga ketebalan dua meter.

Ia menyebutkan perubahan iklim akibat pemanasan global berperan besar membuat tutupan salju abadi satu-satunya di wilayah Indonesia itu sedikit demi sedikit terus menipis sejak revolusi industri pada 1850.

Berdasarkan pemaparannya, pada 1850 cakupan luas es abadi di Puncak Jaya Papua itu mencapai sekitar 19 kilometer persegi, kemudian makin merosot hingga pada Mei 2022 diperkirakan mencapai 0,34 kilometer persegi.

Ia memaparkan perubahan iklim secara global pada periode 2023 merupakan tahun terpanas dengan suhu rata-rata global selama 10 tahun yakni 2014-2023 mencapai 1,20 plus minus 0,12 derajat celcius.

Tahun lalu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut kondisi "salju abadi" atau tutupan es di Puncak Jaya, Papua, semakin mengkhawatirkan.  "Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut," kata Dwikorita dalam seminar bertajuk "Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?", Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Dwikorita menerangkan, Indonesia menjadi salah satu lokasi unik di wilayah tropis karena memiliki salju abadi. Salju abadi di Puncak Jaya, kata dia, adalah sebuah keajaiban alam yang menarik banyak perhatian dari kalangan ilmuwan, peneliti, serta pecinta alam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi tersebut.

Dwikorita mengatakan bahwa sejak tahun 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bersama Ohio State University, AS, telah melakukan studi terkait analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya. BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia kemudian terus melakukan kegiatan pemantauan secara berkala terhadap luas dan tebal gletser di Puncak Jaya.

sumber : Antara/BMKG
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement