REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Teka-teki soal korban tewas yang ditembak anggota TNI di Puncak Jaya, Papua, masih belum terjawab sepenuhnya. Ada keterangan berbeda antara Komnas HAM Papua, polisi, TNI, dan bahkan OPM sekali pun.
TNI telah mengonfirmasi bahwa mereka yang tewas adalah anggota separatis. Sementara polisi menyebut warga biasa, sedangkan Komnas HAM Papua menyebut mereka tokoh warga lokal. OPM menepis korban anggota mereka.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Fritz Ramandey saat dihubungi Republika pada Jumat mengatakan, mereka yang ditembak oleh TNI, berdasarkan informasi dan testimoni-testimoni dari masyarakat, dan tokoh-tokoh adat bahwa mereka bertiga adalah bendahara kampung, kepala kampung, dan satu ketua Bamuskam (Badan Musyawarah Kampung).
Ketiganya yakni Tonda Wanimbo, Pemerintah Murib, dan Dominus Enumbe. Mereka yang ditembak mati tersebut, kata ia, tak ada kaitannya dengan separatis, ataupun DPO. "Kalau memang mereka itu dikatakan DPO, bukan ranahnya TNI untuk mengambil tindakan penegakan hukum dengan melakukan penembakan. Ada pihak dari kepolisian, dan Satgas Damai Cartenz yang saat ini mengambil peran penindakan dalam rangka penegakan hukum terhadap terduga, atau DPO terkait OPM ini,” kata Fritz
Sementara pihak polisi mengatakan, tiga orang warga yang meninggal adalah SW (33 tahun), YW (41), dan DW (36). Tidak disebutkan bahwa ketiganya merupakan anggota separatis.
Adapun menurut TNI, ketiga orang yang ditembak mati adalah separatis bersenjata, anggota OPM, atau KKB wilayah Mulia, Puncak Jaya yang dipimpin oleh Terinus Enembuni. Ketiga orang tersebut ditembak mati saat Satgas Yonif 753 berusaha mengejar Terinus Enembuni yang berstatus buronan, dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Namun dalam operasi pengejaran oleh militer di Kampung Karubate tersebut, Terinus Enembuni malah berhasil lolos, dan menyelamatkan diri.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) membantah klaim Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menembak mati tiga separatis bersenjata di Puncak Jaya, di Papua Tengah, Rabu (17/7/2024).
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menegaskan, yang dibunuh oleh militer Indonesia tersebut adalah masyarakat sipil. Pembunuhan tersebut memicu gelombang kerusuhan antara warga pendatang, dan masyarakat asli yang akhirnya juga menghilangkan warga sipil.
“Mereka (yang ditembak TNI) warga sipil. Tiga ditembak, dan yang lainnya menderita luka tembak,” kata Sebby saat dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (18/7/2024). TPNPB-OPM, kata Sebby menegaskan, tak ada kaitannya dengan aksi bentrok sesama sipil, pascapenembakan yang dilakukan oleh TNI tersebut.
“Warga pendatang yang dibunuh oleh masyarakat sipil Puncak Papua, sebagai balasan. Kami TPNPB-OPM tidak ikut terlibat aksi spontanitas itu,” begitu kata Sebby.
Tuntutan penyelidikan
Terlepas dari identitas korban, namun yang pasti pascapenembakan terhadap tiga orang tersebut, kerusuhan terjadi di Mulia, ibu kota Puncak Jaya. Masyarat orang asli Papua (OAP) menyerang dengan membakar mobil-mobil kepolisian, dan militer di wilayah tersebut. Amuk warga lokal tersebut, pun berujung pada penyerangan terhadap warga-warga pendatang non Papua
Masyarat orang asli Papua (OAP) menyerang dengan membakar mobil-mobil kepolisian, dan militer di wilayah tersebut. Amuk warga lokal tersebut, pun berujung pada penyerangan terhadap warga-warga pendatang non Papua.
Kapolres Puncak Jaya AKBP Kuswara mengatakan, kerusuhan sesama sipil itu, berujung pada tewasnya satu warga, yaitu Abdullah Jaelani (30). “Akibat kerusuhan itu, seorang warga meninggal dunia, terluka akibat benda tajam,” begitu ujar Kapolres.
Amnesty Internasional Indonesia mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan melakukan investigasi terkait penembakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap tiga warga biasa di Kampung Karubate, Distrik Mulia, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.