Senin 08 Jul 2024 06:15 WIB

Jadi Simbol Kekalahan IDF, Jerman Larang Segitiga Merah Terbalik

Jerman meneruskan kebijakan represif terhadap aksi pro-Palestina.

Grafiti menggambarkan tank Israel disasar segitiga terbalik merah di Beirut.
Foto:

Jerman yang jadi lokasi pembantaian jutaan etnis Yahudi pada masa lalu kini adalah pembela paling sengit Israel. Mereka terus mencoba membungkam suara-suara pro-Palestina di negara itu.

Pada April, pemerintah melarang ahli bedah Palestina asal Inggris, Ghassan Abu-Sitta, memasuki Jerman untuk berpidato di konferensi Berlin tentang pekerjaannya di Gaza. Sebulan kemudian, Abu Sitta memenangkan gugatan hukumnya terhadap larangan tersebut.

Pada Mei 2024, Kementerian Dalam Negeri negara bagian Rhine-Westphalia Utara Jerman memberlakukan larangan terhadap organisasi Palästina Solidarität Duisburg (Solidaritas Palästina Duisburg, PSDU). Lembaga pegiat HAM People Dispatch melansir, Kasus ini melibatkan operasi spionase ekstensif yang dilakukan otoritas negara dan akhirnya penggerebekan di rumah empat aktivis. Mereka yang terkena dampak kini telah membentuk “Komite Penentang Pelarangan PSDU” untuk melawan penindasan negara di pengadilan.

Larangan PSDU terjadi hanya sebulan setelah ratusan polisi Jerman menutup Kongres Palestina di Berlin pada 12 April, menangkap beberapa peserta dan memerintahkan para delegasi untuk segera pergi. Polisi juga menekan mobilisasi besar-besaran di kota-kota di seluruh Jerman yang menyerukan diakhirinya genosida dan melakukan penggerebekan yang ditargetkan terhadap para aktivis.

Pada Juni lalu, dilaporkan Middle East Monitor, Jerman telah memperkenalkan undang-undang baru yang mengharuskan pemohon kewarganegaraan Jerman untuk menyatakan dukungan mereka terhadap hak keberadaan Israel. Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menuntut pengakuan atas hak hidup suatu negara sebagai bagian dari proses kewarganegaraan, dan telah dikritik karena dampaknya terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi politik.

Undang-undang kontroversial tersebut, yang mulai berlaku pada akhir Juni, merupakan bagian dari perombakan yang lebih luas terhadap kriteria kewarganegaraan Jerman. Meskipun pemerintahan Kanselir Olaf Scholz yang berhaluan sosial liberal pada awalnya mengusulkan undang-undang tersebut untuk menyederhanakan jalur menuju kewarganegaraan bagi para migran generasi pertama, undang-undang tersebut kemudian diubah menjadi langkah untuk memastikan kepatuhan terhadap “nilai-nilai Jerman” di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai anti-Semitisme dan isu-isu lain.

Jerman adalah salah satu dari banyak negara Barat yang mengadopsi definisi anti-Semitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) yang sangat kontroversial. Kritikus berpendapat bahwa peningkatan anti-Semitisme yang dilaporkan adalah menyesatkan, sebagian besar disebabkan oleh penerapan definisi IHRA yang menyamakan kritik yang sah terhadap Israel dan Zionisme dengan kebencian anti-Yahudi. 

Akibatnya, statistik mengenai insiden anti-Semit mungkin dibesar-besarkan karena dapat mencakup kasus pidato politik atau protes terhadap kebijakan Israel yang tidak dapat dianggap anti-Semit.

Tes kewarganegaraan baru ini akan mencakup pertanyaan tentang Yudaisme dan kehidupan Yahudi di Jerman, dan memerlukan deklarasi eksplisit mengenai hak keberadaan negara Israel. Persyaratan ini telah menimbulkan keheranan di kalangan pakar hukum dan pembela hak asasi manusia, yang mempertanyakan implikasi legalitas dan etika dari pemberian mandat posisi politik di negara asing sebagai prasyarat untuk mendapatkan kewarganegaraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement