Selasa 02 Jul 2024 20:29 WIB

Arogansi Vietnam Dinilai Ancam Kedaulatan Maritim RI, Ini yang Harus Dilakukan

Perlu diupayakan langkah diplomatik hadapi Vietnam

Sejumlah personel Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berada di kapal ikan asing (KIA) saat diamankan di Pelabuhan Pangkalan PSDKP Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (4/5/2024). Kapal Pengawas PSDKP ORCA 02 berhasil mengamankan dua KIA berbendera Vietnam beserta 20 awak kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Perairan Natuna.
Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Sejumlah personel Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berada di kapal ikan asing (KIA) saat diamankan di Pelabuhan Pangkalan PSDKP Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (4/5/2024). Kapal Pengawas PSDKP ORCA 02 berhasil mengamankan dua KIA berbendera Vietnam beserta 20 awak kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Perairan Natuna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pada April 2024, Pertemuan Teknis ke-3 mengenai Pengaturan Pelaksana (PP) Wilayah Tumpang Tindih Yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) diselenggarakan oleh Indonesia dan Vietnam, untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua pihak dalam wilayah tumpang tindih dan mencapai konsensus atas isu-isu yang belum terselesaikan.

Terhadap isu-isu yang belum terselesaikan dalam PP, delegasi Republik Indonesia (RI) tetap mengambil sikap yang ikhlas dan tulus sedangkan Vietnam selalu bersikap arogan dalam perundingan PP. Usulan Vietnam tidak masuk akal dan berpotensi mengancam kedaulatan maritim RI.

Baca Juga

Saat ini, masih ada beberapa isu yang perlu dibahas lebih lanjut, salah satunya adalah penetapan "no-anchoring area". Secara sederhana, istilah “no-anchoring area” dapat dipahami sebagai area dimana tidak seorang pun diperbolehkan membuang jangkar untuk kapal, pesawat terbang atau fasilitas lainnya, disiapkan untuk melindungi pulau buatan, struktur atau instalasi.

Menurut UNCLOS 1982, safety zone adalah 500 meter. Namun, usulan "no-anchoring area" Vietnam mencapai dua mil laut (sekitar 3.704 meter).

Sebelumnya, Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) mengungkapkan bahwa klaim Vietnam untuk menetapkan 'no-anchoring area' sejauh dua mil laut secara nyata melanggar peraturan internasional.

"Perilaku ini mencerminkan niatnya untuk memperluas cakupan penangkapan ikan, yang secara langsung mengancam kedaulatan Indonesia,” tambah Marcellus Hakeng pada (21/5/2024).

Di tempat yang berbeda, pengamat militer Alman Helvas Ali berpendapat bahwa usulan Vietnam tersebut juga menunjukkan ambisi yang kuat untuk menjarah sumber daya.

“Usulan Vietnam akan merugikan Indonesia secara ekonomi sebab mereka akan bebas manangkap ikan di wilayah hak berdaulat Indonesia. Indonesia hendaknya mengacu pada aturan nasional dan internasional, tidak boleh memberikan konsesi kepada Vietnam,” kata Alman, Selasa (2/7/2024).

Meskipun kedua pihak telah menandatangani Persetujuan Batas ZEE pada Desember 2022, masih dapat terlihat kehadiran Vietnam di perairan RI, terutama di Laut Natuna Utara. Seperti reklamasi pulau-pulau dan pembangunan infrastruktur di pulau yang disengketakan.

Tidak hanya itu, aktivitas penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh kapal nelayan Vietnam di ZEE RI masih merajalela, dan kebijakan pemerintah Vietnam yang longgar menyebabkan aktivitas tersebut terus berlanjut, misalnya memberikan bantuan subsidi bahan bakar dan pinjaman kepada nelayan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement