Senin 01 Jul 2024 16:26 WIB

Siapa Yahudi Haredi yang Menolak Ikut Perang Israel?

Pemimpin Haredi yang bekerja sama dengan Muslim dibunuh teroris Zionis.

Seorang Yahudi ortodoks pada pawai pro-Palestina di London, Inggris, 25 November 2023.
Foto: EPA-EFE/NEIL HALL
Seorang Yahudi ortodoks pada pawai pro-Palestina di London, Inggris, 25 November 2023.

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM – Aksi unjuk rasa oleh kelompok Yahudi ortodoks, Haredi, yang menentang regulasi wajib militer Israel berujung kekerasan. Siapa sebenarnya komunitas Yahudi yang punya sejarah menentang Zionisme tersebut?

Baca Juga

Nora L Rubel, sarjana dari Universitas Columbia di New York menuliskan bahwa kaum Haredi yang secara harfiah berarti mereka yang “gemetar” di hadapan Tuhan, mengeklaim sebagai penganut Yahudi yang otentik. Mereka sangat ketat menjalankan hukum Taurat dan nubuat di dalamnya. Sebanyak 90 persen dari komunitas Yahudi Ortodoks saat ini adalah juga anggota kelompok Haredi. 

Teologi Haredi dimulai sebagai reaksi terhadap pencerahan Yahudi abad ke-18, Haskalah, sebuah gerakan yang bertujuan modernisasi budaya Yahudi di Eropa. Meskipun Haskalah ingin mengakhiri segregasi Yahudi dan mendorong keterlibatan yang lebih besar dengan ide-ide modern dan masyarakat sekuler, kaum tradisionalis melihat hal ini sebagai ancaman terhadap identitas agama Yahudi. 

Oleh karena itu, Haredi berpegang teguh pada pakaian dan cara tradisional mereka. Mereka mengobrol dalam bahasa Yiddish dan hanya berdoa dalam bahasa Ibrani, bahasa yang terlalu suci untuk hubungan sosial. 

Dan ketika gerakan sekuler Zionisme modern mulai terbentuk, mereka juga yang mula-mula menentang hal ini. Menurut mereka, hanya Tuhan yang bisa mewujudkan Israel baru, demikian argumen mereka. Mencoba mendahului tindakan Tuhan melalui nasionalisme sekuler adalah suatu tindakan sesat. Bagi sebagian besar Haredi, negara Israel masih dianggap sebagai entitas asusila.

Pada 1889 misalnya, para kepala rabi di Inggris pun berpikiran serupa. The Guardian melansir, Kepala Rabi Naftali Hermann Adler, memberikan khotbah di mana ia mengutuk Zionisme modern karena merampas peran Tuhan: “Saya melihat gerakan ini dan merasa sangat khawatir dalam hati saya, karena saya melihatnya bertentangan dengan Taurat Hashem (Tuhan).”

Pada tahun itu juga, Rabbi Joseph Dov Soloveichik menyatakan bahwa inisiatif awal Zionis mirip dengan sekte mesianis palsu abad ke-17 yang dipimpin oleh Sabbatai Zevi. "Rakyat Israel harus berhati-hati untuk tidak ikut serta dalam upaya (Zionisme) yang mengancam jiwa mereka, menghancurkan agama, dan merupakan batu sandungan bagi Bangsa Israel," ujar putranya, Rabbi Hayyim Soloveichik menekankan.

Selain itu, kaum Yahudi pada abad ke-19 kebanyakan masih berpegang pada tiga sumpah yang dicatatkan dalam Talmud. Pertama, tak boleh kembali ke Tanah Israel menggunakan kekerasan; kedua, tidak boleh memberontak terhadap bangsa-bangsa di dunia; dan ketiga, negara-negara di dunia tidak akan menganiaya bangsa Israel secara berlebihan.  

Pendirian negara Israel dinilai sebagai pelanggaran terhadap sumpah tersebut. Gerakan anti-Zionis Haredi yang pertama adalah Agudath Israel, yang didirikan di Polandia pada 1912.

Sebelum pendirian Israel, komunitas Haredi yang kebanyakan adalah Yahudi Eropa (Ashkenazi), juga sudah tinggal di Eropa. Namun komunitas itu juga menentang Zionisme. 

photo
Seorang Yahudi Ortodoks membaca Tanakh diapit dua Muslim membaca Alquran di Yerusalem pada 1895. - (Jewish Encyclopedia/Public Domains)

Ketika imigran pro-Zionis berbondong-bondong datang abad ke-19 dan ke-20, mereka khawatir dengan masuknya sebagian besar orang Yahudi yang tidak beragama yang ingin mendirikan negara sekuler di Tanah Suci. Kaum Haredi takut kehadiran mereka mengancam hubungan damai yang mereka jalani dengan tetangga Arab mereka kala itu.

Kepala rabi komunitas Ashkenazi di Yerusalem, Rabi Joseph Hayyim Sonnenfeld, sering menyebut Zionis sebagai "orang jahat dan bajingan" dan mengklaim bahwa "Neraka telah memasuki Tanah Israel bersama Herzl (Theodor Herzl, penggagas Zionisme)."

Juru bicara komunitas Ashkenazi anti-Zionis di Yerusalem kala itu, Dr Jacob Israël de Haan, berupaya membentuk aliansi dengan para pemimpin nasionalis Arab dan berharap mencapai kesepakatan yang memungkinkan pemukiman Yahudi di tanah Arab dengan imbalan pelepasan hak politik warga Yahudi. Sayangnya, pada Juni 1924, de Haan dibunuh oleh kelompok teroris Zionis Haganah setelah menyampaikan usulannya kepada Raja Hussein bin Ali yang kala itu menjabat penguasa Makkah serta dan putra-putranya, Faisal dan Abdullah.

Kompromi dengan Zionis... baca halaman selanjutnya

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement