REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu aliran sufisme Islam adalah tasawuf falsafi. Di dunia Barat, ini dikenal dengan sebutan philosophical sufism.
Tasawuf falsafi acap kali dipandang sebagai hasil perpaduan antara olah-spiritual Islam dan konsep-konsep filsafat Barat, yang diambil dari beragam sumber. Jenis tasawuf ini berdampak besar bagi khazanah intelektual Islam.
Tasawuf falsafi mulai berkembang sejak abad ke-12 sampai abad ke-13. Pada masa itu, beberapa guru sufi mulai menjelaskan hukum dan misteri penciptaan, serta prinsip-prinsip yang mengatur tasawuf dalam batas-batasan filosofis. Dengan begitu, tasawuf falsafi lebih didasarkan pada penjelasan hakikat penciptaan dalam konteks filsafat dan sejarah.
Dr Nahid Angha dalam buku Practical Sufism and Philosophical Sufism menjelaskan, inti dari tasawuf falsafi adalah meraih cinta Allah setinggi mungkin dan menjadi kekasih-Nya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi batasan antara seorang hamba dan Sang Pencipta. Inspirasi dari tasawuf falsafi itu sendiri diklaim berasal dari perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW.
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan, Rasulullah SAW juga memiliki gelar habibullah (kekasih Allah SWT). Hal tersebut menunjukkan adanya cinta yang tak terukur antara Nabi SAW dan Allah.
“Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan Nabi adalah, cintanya kepada Allah begitu kuat dan kompleks sehingga sulit untuk memisahkan Sang Kekasih tersebut dari Allah yang dicintainya.”
Menurut Angha, perkembangan tasawuf falsafi lebih cepat dibandingkan sufisme praktis karena karakteristiknya yang lebih mudah untuk dipahami. Sistem kepercayaan ini, yang awalnya didirikan pada prinsip-prinsip Islam, secara bertahap mulai menjadi penemuan yang menarik bagi sejumlah kalangan peneliti dari Barat (orientalis), khususnya mereka yang memfokuskan kajian pada mistisisme Timur Tengah.
Banyak orientalis yang menerjemahkan karya-karya sufi. Namun, tidak semua dari mereka yang akrab dengan budaya-budaya atau bahasa yang mendominasi dalam ajaran tasawuf itu sendiri. Akibatnya, tidak sedikit peneliti Barat menganggap tasawuf falsafi sama dengan sufisme praktis di dalam berbagai karya tulis mereka.
“Sufisme praktis didasarkan pada praktik, sedangkan tasawuf falsafi lebih berfokus pada penjelasan lisan dari praktik, sejarah, atau prinsip-prinsip sufisme. Meskipun kedua sistem tasawuf ini berbeda satu sama lain, namun tidak semua peneliti mampu membedakannya,” ujar Angha.