Senin 17 Jun 2024 14:00 WIB

INW Kritik Perbedaan Vonis dalam Kasus Narkoba Jaringan Fredy Pratama

Perbedaan vonis cerminkan adanya ketidakadilan dalam hukum

Terdakwa tindak pidana pencucian uang (TTPU) Adelia Putri Salma (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya saat sidang putusan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (16/5/2024). Selebgram Adelia Putri Salma divonis 5 tahun penjara terbukti menerima uang penjualan narkoba (TPPU) dari suaminya Khadafi yang merupakan jaringan narkoba Internasional Fredy Pratama sebesar Rp3,67 miliar.
Foto: ANTARA FOTO/Ardiansyah
Terdakwa tindak pidana pencucian uang (TTPU) Adelia Putri Salma (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya saat sidang putusan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (16/5/2024). Selebgram Adelia Putri Salma divonis 5 tahun penjara terbukti menerima uang penjualan narkoba (TPPU) dari suaminya Khadafi yang merupakan jaringan narkoba Internasional Fredy Pratama sebesar Rp3,67 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Indonesia Narcotic Watch (INW) mengkritik disparitas vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap para terpidana kasus narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang lainnya) dari jaringan Fredy Pratama. 

INW menilai, perbedaan vonis yang tidak proporsional ini mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum dan menunjukkan inkonsistensi dalam upaya pemberantasan narkoba yang sedang dicanangkan oleh pemerintah. 

Baca Juga

Direktur Eksekutif INW Budi Tanjung mengungkapkan, beberapa terdakwa dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama menerima vonis yang sangat rendah, sementara yang lainnya dijatuhi hukuman yang sangat berat. 

Memang benar, vonis setiap kasus tentu saja berbeda, tergantung fakta dan bukti, konstruksi hukum, serta dakwaan dalam kasus tersebut. 

"Tetapi disparitas perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas, tentu menimbulkan pertanyaan," kata Budi di Jakarta, Ahad (17/6/2024).  

Mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Andres Gustami misalnya, divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Lampung, pada Februari lalu. 

Sementara Wempi Wijaya, salah satu bandar sabu atau metamfetamina dalam jaringan Fredy Pratama, hanya divonis 12 tahun oleh PN Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei lalu. 

Begitu juga Belly Saputra, salah satu kurir dalam jaringan Fredy, divonis penjara seumur hidup oleh PN Tanjungkarang pada Mei lalu. Sedangkan Lian Silas, ayah Fredy Pratama, hanya divonis 1,8 tahun penjara oleh PN Banjarmasin, Kalimantan Selatan, April lalu. 

Kasus terbaru adalah Adelia Putri Salma, selebgram cantik asal Palembang, Sumatra Selatan. Dia divonis bersalah menampung uang hasil penjualan narkoba milik suaminya yang terafiliasi dengan jaringan Fredy Pratama. Ia dituntut 7 tahun penjara oleh jaksa penuntut tetapi hanya mendapat vonis 5 tahun saja. 

Ada juga terpidana Wahyu Wijaya yang disebut sebagai orang kepercayaan Fredy. Ia berperan sebagai pengurus pembukuan keuangan Fredy Pratama, selain bertugas sebagai sopir pribadi dari bandar kelas kakap tersebut. Ia dituntut 1 tahun penjara tetapi hanya divonis 10 bulan oleh PN Tanjungkarang pada 3 Juni lalu. 

Adapun Mabes Polri bersama Kepolisian Thailand saat ini masih memburu Fredy yang bersembunyi di Negara Gajah Putih tersebut. Fredy Pratama adalah gembong sindikat narkoba terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Penangkapan Fredy merupakan kerjasama Polri dengan Kepolisian Malaysia, Kepolisian Thailand, dan Badan Narkotika AS (DEA). 

INW menilai, inkonsistensi putusan pengadilan dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama mencerminkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum serta menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. 

“Kami melihat adanya kesenjangan yang besar dalam penjatuhan hukuman, yang dapat diartikan sebagai bentuk ketidakseriusan dalam penanganan kasus pidana narkoba,” ujar Budi.

 

Kebijakan pemerintah Indonesia yang berusaha tegas dalam memberantas narkoba seharusnya tercermin dalam putusan pengadilan. 

Namun, dengan adanya vonis yang bervariasi, terdapat kesan bahwa kebijakan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten. “Hal ini bertentangan dengan semangat dan komitmen pemerintah dalam memerangi narkotika,” tutur Budi.

Vonis rendah yang dijatuhkan kepada beberapa terdakwa juga dapat mengurangi efek jera dan malah mendorong orang untuk terlibat dalam jaringan narkoba. 

INW mengingatkan, keseluruhan program pemberantasan narkoba sangat ditentukan oleh penjatuhan hukuman yang setimpal untuk memberikan pesan yang kuat bahwa kejahatan narkotika tidak akan ditoleransi.

"Vonis ringan terhadap pengedar narkoba juga meninmbulkan berbagai spekulasi dan kecurigaan. Ini kejahatan super serius di negra kita. Sepatutnya PPATK harus turun tangan. Telusuri itu semua kekakyaan hakim yang menjatuhkan vonis ringan pengedar narkoba," tegas Budi Tanjung.

Di sisi lain, upaya memberi efek jera harus dilakukan dengan menghadirkan transparansi dan konsistensi dalam proses peradilan kasus narkoba. 

“Penegakan hukum harus dilakukan dengan adil dan merata, tanpa pandang bulu, untuk memastikan bahwa semua pelaku kejahatan narkotika mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya,” tegas Budi.

INW juga menyerukan adanya evaluasi terhadap sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan terkait untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan yang menyebabkan disparitas vonis ini. Evaluasi ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia. "Kami siap membantu pemerintah dan pengadilan untuk melakukan evaluasi ini," kata Budi. 

INW tetap mendukung penuh sepenuhnya upaya pemerintah dalam pemberantasan narkotika dan mendorong kolaborasi antara penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika. “Kami berharap upaya bersama ini dapat menciptakan Indonesia yang bebas dari narkoba,” kata dia.  

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement