Senin 10 Jun 2024 16:11 WIB

Data LSI Denny JA: Publik Resisten terhadap Cawalkot Berpoligami

Sekitar 60 persen sampai 75 persen menolak calon kepala daerah yang berpoligami.

Survei LSI. Peneliti LSI Denny JA, M Khotib. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Survei LSI. Peneliti LSI Denny JA, M Khotib. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Riset yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, menemukan publik punya resistensi terhadap calon kepala daerah (Cakada) yang berpoligami, atau punya istri lebih dari satu. Mayoritas publik menolak Cakada yang berpoligami.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, M.Khotib, menjelaskan, dari pengalamannya melakukan survei di sejumlah wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa, ada sejumlah isu yang harus diwaspadai agar elektabilitas para kandidat tidak merosot. Salah satunya, isu poligami. Disamping, tentu isu-isu lain seperti Narkoba, selingkuh dan korupsi.

“Berdasarkan data riset di sejumlah wilayah,  mayoritas publik, 60% sampai 75%, menolak Cakada yang berpoligami,” kata M.Khatib, dalam siaran persnya, Senin (9/6/2024). Cakada  yang beristri lebih dari satu, lanjutnya, harus berhati-hati. Termasuk para kandidat wali kota Bogor. 

Khusus Kota Bogor, kata Khotib, LSI Denny JA baru akan turun survei pada  awal Juli nanti. Dan isu-isu negatif para kandidat tersebut sudah pasti akan dipotret. Terutama, untuk mengetahui seberapa besar resistensi publik nanti terhadap isu-isu tersebut.

“Yang pasti, dari data survei sebelumnya di sejumlah daerah, ada penolakan cukup kuat dari mayoritas publik terhadap kandidat yang poligami. Dugaan saya, data yang sama akan terjadi di Kota Bogor. Meskipun, kita tak tahu, siapa kandidat walikota yang beristri lebih dari satu itu,” katanya.

Menurut Khotib, semua kandidat harusnya berkepentingan dengan data survei seperti itu. Tujuannya agar bisa lebih waspada dan antisipatif saat isu tersebut bergulir. Sebab, dari pengalamannya, yang bisa membuat hasil survei meleset itu, antara lain, ada tsunami politik dan money politic.

Salah satu bahan yang bisa menjadi tsunami politik, kata Khotib, adalah isu-isu negatif tadi. Dengan catatan, teori dalam isu negatif yang bisa berefek elektoral, antara lain, seberapa banyak publik yang tahu, dan seberapa banyak publik yang percaya terhadap isu itu.

Khotib mencontohkan, isu korupsi yang dituduhkan kepada salah satu kandidat. Tapi, faktanya, mayoritas publik tetap memilihnya. “Ternyata, ini karena mayoritas publik tidak tahu, dan bagi yang tahu, tidak mempercayainya. Salah satunya, ada kandidat yang sudah dua bulan ditahan KPK tapi masih tetap dipilih,” kata Khotib.

Menanggapi sejumlah isu yang beredar di Kota Bogor, Khotib mengaku belum punya data yang bisa disampaikan. Kecuali, hanya berita soal isu dinasti yang dialamatkan kepada salah satu kandidat, yaitu Sendi Fardiansyah, hanya karena dia sebagai Sekpri Ibu Negara, Iriana Jokowi. Tapi, dari pengalaman selama ini, dinasti itu termasuk isu elitis yang tidak berpengaruh terhadap mayoritas pemilih di bawah.

“Sejauh kandidat itu mampu meyakinkan publik dengan personal brandingnya sebagai sosok yang baik, bersih, peduli dan mampu memimpin, isu itu tak akan berpengaruh. Namun, jika isunya selingkuh atau berpoligami, yang diketahui mayoritas publik, ini yang justru potensial merontokkan,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement