REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan, uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal tak hanya berdampak pada mahasiswa dengan tingkat ekonomi bawah, tapi juga kelas menengah. JPPI meragukan data proporsi UKT golongan I dan II yang diungkap oleh Kemendikbudristek.
"Gara-gara UKT mahal, tidak hanya mahasiswa miskin yang terdampak, tapi mahasiswa dari keluarga kelas menengah juga mengalami kelimpungan dan kesulitan bayar," kata Koordinator JPPI Ubaid Matraji, Sabtu (25/5/2024).
Sayangnya, kata dia, hal tersebut tidak disinggung oleh Mendikbudristek dan juga timnya. Dia melihat, mereka hanya menjelaskan data soal proporsi UKT golongan I dan II untuk golongan kurang mampu yang disebut-sebut sudah terpenuhi 20 persen bahkan lebih.
"Apa benar demikian? Tentu data ini tidak bisa ditelan mentah-mentah, perlu pembuktian dan audit di tiap-tiap kampus apakah benar sudah tercapai ambang minimal 20 persen. Data tersebut, perlu kita dalami,” kata Ubaid.
Misalnya saja, kata dia, jika ditilik data total penerima KIP Kuliah hingga 2024, ditemukan data penerima sebanyak 985.577 mahasiswa. Sementara, jumlah mahasiswa yang sedang kuliah terdapat sekitar 9,32 juta mahasiswa bersasarkan data tahun 2022.
"Jadi, penerima KIP Kuliah diperkirakan di kisaran angka 10 persen, tidak sampai pada batas minimal 20 persen," jelas dia.
Selain itu, tambah Ubaid, Kemendikbudristek juga tidak memberikan skema bantuan dan jaminan keterjangkauan biaya UKT bagi kelompok ekonomi menengah. Di mana, mereka tidak bisa masuk UKT golongan I dan II karena tidak miskin, tapi mereka akan kesulitan dan berpotensi gagal bayar jika diminta bayar dengan UKT yang mahal.
“Karena itu, supaya mereka tidak gagal bayar UKT, perlu ada skema khusus bantuan pembiayaan untuk mahasiswa kelompok ekonomi menengah ini,” jelas dia.