Senin 13 May 2024 19:13 WIB

Saat Bung Karno Puji 'Wahabi'

Bung Karno sangat tertarik dengan gerakan pemurnian di Saudi.

Pertemuan Presiden Sukarno dengan Raja Saudi Saud bin Abdulaziz pada 1955.
Foto:

Alkisah, pada 1962 Indonesia tengah dilanda kemarau yang cukup panjang. Di tengah kondisi itu, seperti dituturkan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, dalam "Sewindu Dekat Bung Karno", datang seorang pria menghadap ke Istana Negara.

Pria tersebut datang sembari membawa sebuah hadiah istimewa. Ia mengklaim, yang ia bawa adalah keris peninggalan jaman Majapahit. Keris dengan lima lekukan alias luk itu menurutnya bertuah dan bisa mengabulkan permintaan empunya.

Bung Karno bertanya kemudian, apa imbalan yang diminta tamu bersangkutan untuk keris itu? Jawabannya adalah satu kendaraan mobil. Bagaimana tanggapan Bung Karno?

"Coba cabutlah keris itu dan mohon hujan turun sekeras-kerasnya agar rumput di tamanku ini menjadi segar dan hijau kembali," ujar Bung Karno dikutip Bambang Widjanarko. Bambang menuturkan, pembawa hadiah keris langsung terdiam.

"Kalau tak bisa sekarang, bawalah keris itu terlebih dahulu dan tetaplah mohon agar hujan turun. Kalau nanti malam atau besok pagi hujan benar-benar turun, akan saya penuhi janji saya memberi dua mobil untuk Bapak," Bung Karno melanjutkan. Tentu permintaan itu tak bisa dikabulkan pembawa keris. Ia kemudian pulang tanpa hasil meski keris tersebut tetap dihadiahkan pada sang Presiden.

photo
Sukarno menghisap cerutu bersama Presiden Uni Sovyet Khruschev - (wikipedia)

Tongkat terkenal yang kerap dibawa-bawa Bung Karno juga beberapa kali menjadi pertanyaan kepala negara negeri lain. Atas pertanyaan itu, Bung Karno selalu menekankan soal kewajaran tongkatnya yang merupakan hadiah dari Presien Filipina Elpido Quirino. "Ini hanya kayu biasa, saya bawa hanya untuk menunjukkan posisi kepala negara, " kata Bung Karno sekali waktu. Ia bahkan sempat mempersilahkan Menteri Transmigrasi dan Koperasi, Achadi, membawa tongkat itu jika tak percaya bahwa itu tongkat biasa.

Bung Karno juga diketahui beberapa kali membawa keris peninggalan Perang Puputan di Bali. Sebagian pihak mengklaim ada tuah pada keris tersebut. Sementara Bung Karno menjawab bahwa keris itu semata pengingat atas perlawanan rakyat Bali melawan penjajah.

Meski saat ini tersebar patung Sukarno, yang bersangkutan sedianya tak suka dengan kultus individu. Salah satu indikasi ini, pada 1961, Sukarno tiba-tiba memerintahkan pembongkaran rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No 56 yang jadi lokasi pembacaan proklamasi. Rumah itu pada 1960 semasa gubernur Henk Ngantung telah dijadikan Gedung Pola untuk menyiapkan program pembangunan. Semacam Bappenas sekarang ini.

 

Dalam bukunya Kenang-kenangan sebagai Kepala Daerah, Henk Ngantung menulis, "Ide pembangunan Gedung Pola memang baik. Tapi, dengan membongkar dan mengorbankan  Gedung Proklamasi  Pegangsaan Timur 56 saya rasa sayang dan aneh." Henk memaparkan kisahnya mendatangi Bung Karno ke istana untuk meminta agar gedung bersejarah itu tidak dibongkar. Ia mengajukan pertanyaan, "Apakah keputusan Bung Karno tidak bisa ditinjau lagi?" Sebelumnya tak sedikit juga yang menanyakan hal itu pada Bung Karno. Bung Karno menjawab singkat, "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku (di dalam rumah itu)."

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement