REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali I Dewa Nyoman Rai Dharmadi memanggil pemangku atau pemuka agama dan penari joged bumbung yang viral. Yang bersangkutan diminta tak mengulangi menari dengan gerak ke arah pornografi.
“Kami panggil memang, agar turut membantu mengedukasi masyarakat supaya semua paham yang dilakukan ini salah dan tidak mengulangi lagi,” kata dia di Denpasar, Rabu (8/5/2024).
Dalam pemanggilan tersebut, hadir langsung penari berinisial AR (18) asal Kabupaten Buleleng yang terekam menari dengan gerakan tidak senonoh bersama pemangku berinisial JD asal Kabupaten Bangli. Kepala Satpol PP Bali itu menilai tidak semestinya seniman dan pemuka agama tersebut melakukan gerakan mengarah ke pornografi, sebab pada faktanya, tari joged bumbung tidak menampilkan pertunjukan demikian.
“Oknum yang berlebihan untuk dapat perhatian mengabaikan pakem-pakem yang seharusnya, kami harap seluruh masyarakat Bali yang berkesenian tari joged atau mengundang joged agar tampil sesuai, jangan justru kita orang Bali merusak seni budaya kita,” ujarnya.
Rai Dharmadi mengingatkan aksi tersebut melanggar Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman Masyarakat dan Pelindungan Masyarakat; dan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 666 Tahun 2021 tentang Pementasan Tari Joged Bumbung.
Untuk itu, ia mengingatkan agar kejadian serupa tak terjadi kembali, tidak hanya untuk penari dan pengibing (sebutan bagi penonton yang berduet dengan penari), tapi juga penonton yang merekam dan menyebarkan di media sosial. “Bagi yang mengunggah kalau bersifat pornografi hati-hati dengan Undang-undang ITE, mari kita bijak, lebih baik lapor ditangani langsung oleh tokoh agama, seni, dan budaya, tidak melulu ke pemerintah tapi kalau dilapor ke kami, kami tindaklanjuti,” ujarnya.
Di hadapan Satpol PP Bali, penari berinisial AR itu bercerita bahwa rekaman viral saat ia menari joged bumbung di luar pakem itu terjadi pada Rabu (6/3/2024) di Desa Songan A, Kabupaten Bangli. Saat itu AR bersama kelompok tari berjumlah 20 orang dibayar untuk menari joged di upacara persembahyangan di rumah JD, kepada media AR mengatakan tidak ada niat menari dengan gerakan tidak senonoh saat itu.
“Kemarin-kemarin saya tidak pernah seperti itu, ini baru sekali, menarinya biasa saja cuma pengibingnya yang terlalu agresif, dan kadang kalau menari sudah dengar gamelan lupa dengan situasi,” tuturnya.
Remaja yang sudah menari sejak duduk dibangku SMP itu mengaku terpaksa mengikuti pola tarian pengibing padahal awalnya sudah berencana melakukan gerakan lain. “Saya selaku penari joged ingin minta maaf dan ke depannya agar tidak lagi terulang kejadian menari yang dianggap pornografi,” ucapnya.
Penari yang dibayar Rp 250 ribu-Rp 500 ribu sekali pentas dan bisa membawa pulang uang saweran hingga Rp 1,5 juta itu mengaku siap mendapat sanksi apabila kedapatan melakukan tarian tidak senonoh lagi. Sementara itu, JD mengaku tidak ada niat buruk seperti merusak seni dan budaya, karena saat itu adalah kali pertama ia menjadi pengibing.
“Saya minta maaf, itu saya kebetulan berjanji menghaturkan joged karena anak saya bisa melunasi pembayaran truk, kan kalau saya tidak ikuti lagi berhutang,” kata dia.
Atas nazar tersebut, JD menghubungi kelompok tari itu untuk pentas bertepatan dengan upacara keagamaan di rumahnya. Dalam video yang beredar di media sosial, pada saat itu JD terlihat menari spontan dengan berpakaian pemangku lengkap, dengan kain, baju, dan udeng serba putih, seperti yang ia kenakan dalam pemanggilan Satpol PP Bali.
“Itu menari sebentar saja, ini pertama kali saya orang tidak bisa menari, tapi ini tidak ada yang suruh, kemauan sendiri karena saya kan menghaturkan joged,” ujarnya dengan santai.