Senin 22 Apr 2024 00:09 WIB

Singgung Aksi Korporasi, Pakar Ingatkan Perkara Eks Dirut Pertamina Ditangani Cermat

Paripurna meminta JPU KPK menangani perkara itu dengan penuh kehati-hatian.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan usai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/2/2024). Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113 Juta US Dolar terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan gas alam cair atau liquified natural gas (LNG).
Foto: Republika/Prayogi
Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan usai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/2/2024). Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113 Juta US Dolar terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan gas alam cair atau liquified natural gas (LNG).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar hukum Universitas Gadjah Mada, Profesor Paripurna Sugarda mengingatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk lebih cermat dalam menangani kasus mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan. Sebab, Paripurna menilai jual-beli LNG dari kilang Corpus Christi Liquefaction, Texas merupakan aksi korporasi.

Karen tercatat menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) periode 2011-2021.

Baca Juga

"Menurut saya, itu aksi korporasi. Makanya harus ditangani dengan cermat," kata Paripurna dalam keterangannya pada Ahad (21/4/2024).

Paripurna meminta JPU KPK menangani perkara itu dengan penuh kehati-hatian. Apalagi saat menerapkan Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Begitu pula saat menerapkan atau mengambil logika hukum aset BUMN adalah bagian dari kekayaan negara.

"Karena korporasi, memiliki prinsip sendiri yang berbeda dengan sekadar mengklaim aset BUMN adalah aset negara. Itu yang saya tekankan kepada penegak hukum," ujar Paripurna.

Paripurna mengkhawatirkan terganggunya kepentingan bisnis BUMN kalau penegak hukum terlalu mudah memanfaatkan pasal yang menyatakan aset BUMN adalah aset negara. 

"Direksi BUMN bisa takut mengambil keputusan. Padahal, kalau direksi takut mengambil keputusan, BUMN tersebut tidak pernah mendapat untung," ujar Paripurna. 

Paripurna juga berpendapat jual beli LNG di Texas merupakan bentuk aksi korporasi.  "Sebab, memang ada keputusan yang bisa dilakukan sendiri dan ada yang harus mendapat pertimbangan dari komisaris dan RUPS," lanjut Paripurna.

Begitu pula dengan uang yang diterima Karen dari Blackstone selaku rekanan Pertamina. Menurut Paripurna, gaji sebagai senior advisor tersebut tidak melanggar hukum. Sebab, saat itu Karen sudah mengundurkan diri dari jabatan Dirut Pertamina.

Terlebih, uang tersebut ditransfer ke rekening Karen di Bank Mandiri. Bahkan dalam persidangan terungkap, petugas bank bisa menghitung dengan jelas kapan mulai transfer dan semuanya benar. Sehingga sama sekali tidak ada perintah untuk menyembunyikan transaksi.  

"Menurut saya, itu bukan uang korupsi. Kalau sudah tidak ada hubungan lagi dengan Pertamina dan tidak ada bukti bahwa pemberian gaji itu mempengaruhi pembelian LNG, tentu tidak ada hukum yang dilanggar. Kan sudah tidak ada conflict of interest. Jadi tidak ada abuse of power lagi," ujar Paripurna.

Sebelumnya, dalam sidang lanjutan pada Kamis 18 April 2024, saksi yang dihadirkan JPU KPK memang tidak bisa menjelaskan bahwa Karen Agustiawan telah menerima uang korupsi senilai Rp1,09 miliar dan 104.016,65 dolar AS dari Tamarind Energy Management. Customer Service Bank Mandiri di Kantor Pertamina, Ahmad Haris, yang dihadirkan sebagai saksi pada sidang tersebut memang membenarkan uang itu ditransfer sejak 28 April 2015 hingga 29 Desember 2015. Tetapi Haris tidak mengetahui, apakah ada perintah untuk menyembunyikan transaksi tersebut.

Selain Haris, JPU KPK saat itu juga menghadirkan Muhammad Ardi Windi Saputra, sebagai Junior Analyst 1, messaging and collaboration di  Pertamina. Diketahui, sidang lanjutan Karen Agustiawan dijadwalkan digelar pada 22 April 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement