REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengungkap beberapa indikator yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (8/4), hingga mengakibatkan 12 orang meninggal dunia.
Reza dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, menyebut indikator pertama adalah kondisi dari sopir Gran Max yang mengalami oleng ke kanan saat jalur sedang diberlakukan rekayasa lalu lintas sistem contraflow (lawan arah).
"Apa ya kira-kira yang membuat pengemudi Gran Max tiba-tiba banting setir dari lajur contraflow ke lajur paling kanan?" ujarnya.
Menurut Reza, peristiwa kecelakaan itu terjadi pagi hari sekitar pukul 07.04 WIB. Dari waktu kejadian ini perlu dikesampingkan kemungkinan sopir Gran Max dalam keadaan mabuk.
Selain itu, juga kecil kemungkinan penumpang minibus Gran Max tersebut terdiri atas satu keluarga, yang membiarkan pengemudi menyetir dalam kondisi mabuk.
"Terdesak ingin buang air? kenapa sampai banting setir?" katanya.
Melihat kondisi tersebut, menurut Reza, pengemudi tertidur atau setidaknya mengantuk berat. Kondisi tersebut membuat sopir Gran Max kehilangan orientasi atau kebingungan secara tiba-tiba terhadap situasi lalu lintas contraflow.
Untuk mengetahui penyebab kecelakaan itu, kata Reza, perlu dicek dari mana dan jam berapa kendaraan Gran Maz itu berangkat.
"Ini petunjuk tentang kemungkinan pengemudi kelelahan. Cek, berapa panjang rute confraflow," katanya.
Reza mengatakan unsur-unsur tersebut di atas menjadi petunjuk situasi monoton yang memudahkan pengemudi mengalami kejenuhan, terlena, lalu tertidur.
Atau bisa juga dicari tahu seberapa jauh kendaraan menjadi penyebab banting stir. Apakah kondisi sedang pecah ban.
"Yang jelas, saya berpandangan bahwa butuh faktor majemuk di balik kecelakaan lalu lintas," ujarnya.
Lebih lanjut, Reza menerangkan dengan mengecek unsur-unsur di atas, bisa jadi ada persoalan pidana di balik kecelakaan itu, yakni jika pengemudi Gran Max dinilai mengemudi dengan cara yang membahayakan.
"Tapi ketika ada pengaruh faktor situasi, yakni misalnya lintasan contraflow yang terlalu panjang, bagaimana pertanggungjawaban atas faktor situasi yang berisiko itu?" kata Reza.
Selain kronologis di atas, Reza menyoroti kesiapsiagaan personel kepolisian, pemadam kebakaran, dan ambulans dalam menangani peristiwa kecelakaan di jalan tol.
Ia mempertanyakan berapa lama bala bantuan datang ke lokasi karena tidak ada yang menyebutkan waktu tiba bala bantuan. Melihat kondisi akhir kendaraan yang bertabrakan dan terbakar hangus, hingga korban meninggal 12 orang dalam kondisi terbakar.
"Oh ya, saat mengulas ihwal kronologi peristiwa, kenapa tidak disebut jam berapa bala bantuan (polisi, misalnya) menjejakkan langkah pertamanya di TKP. Ada data yang menunjukkan polisi butuh 15 hingga 20 menit. Bagaimana pula dengan ambulans, pemadam kebakaran, dan armada bantuan darurat lainnya?" kata Reza.
Reza menyebut kapan tim bala bantuan datang menjadi pertanyaan penting karena ada tali-temali antara waktu respons dan tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas. Waktu respon yang lama berdampak pada meningginya tingkat fatalitas.
"Alhasil, bukan hanya kondisi kendaraan dan kondisi lalin serta faktor pengemudi yang perlu diinvestigasi. Waktu respons bala bantuan juga perlu dievaluasi," kata Reza.