Jumat 05 Apr 2024 21:34 WIB

Oposisi dalam Demokrasi Pancasila: Urgensi dan Relevansi

Oposisi masih sangat relevan dalam demokrasi Pancasila

Ilustrasi Pemilu 2024. oposisi masih sangat relevan dalam demokrasi Pancasila
Foto:

Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan 

Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan oposisi terkait dengan upaya menegakkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan untuk menghindari terjadinya oligarki. 

Oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi yang sehat, sebagaimana yang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu adalah bagian dan sekaligus cerminan keberadaan demokrasi yang kokoh.

Pemerintah, oposisi, dan haluan Negara 

Jika pemerintah dan oposisi bersinergi akan menghasilkan demokrasi yang kokoh, tetapi bagaimana jalan untuk mencapainya tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945?. Sebagaimana diketahui, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terpatri cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mencapai ini semua diperlukan sebuah landasan perencanaan pembangunan nasional, atau yang dikenal sebagai haluan negara yang merupakan guidelines yang akan membawa dan menuntun negara untuk menuju tujuan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Pasal-Pasal dalam UUD 1945 tidaklah cukup memadai guna menindaklanjuti nilai-nilai Pancasila, untuk itu perlu ada instrumen yang lebih directive guna menjamin tercapainya tujuan bernegara.

Sejarah mencatat keberadaan Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami pasang surut baik secara substansi maupun secara politis. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, peran Haluan Negara menjadi sangat vital sebagai pedoman pembangunan negara, yang diwujudkan secara formal melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah reformasi eksistensi Haluan Negara ini menjadi hilang seiring dengan amandemen UUD 1945. 

Dalam perkembangan dua dekade terakhir setelah terjadi amandemen UUD 1945, Indonesia menghadapi beberapa perkembangan ketatanegaraan yang bersifat menguji persepsi dan konseptual para perumus amandemen UUD 1945 dalam konteks kekinian. Salah satu hal paling mengemuka adalah melakukan reformulasi Haluan Negara.

Rupanya, keinginan tersebut mendasarkan pada evaluasi sistem pembangunan nasional pasca amandemen UUD 1945 yang tidak sistematis dan komprehensif. Pembangunan era reformasi lebih sekedar mengejawantahkan visi-misi Presiden terpilih tanpa ada perencanaan dan kelanjutan jangka panjang.

Hal ini menimbulkan tantangan untuk kembali mewujudkan Haluan Negara yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana yang diwasiatkan oleh para pendiri bangsa.

Para pendiri bangsa menginginkan haluan negara sebagai penciptaan visi bangsa yang dinamis, sehingga daripada mengubah konstitusi setiap saat, lebih baik menciptakan suatu dokumen negara yaitu haluan negara. Soepomo dalam pidato laporan Panitia Kecil (Panitia Sembilan) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 15 Juli 1945 menegaskan hal tersebut yang dapat disimpulkan bahwa haluan negara mempunyai makna dan kedudukan, pertama; sebagai acuan bagi penyelenggaran negara, dalam hal ini Presiden, untuk melaksanakan perencanaan maupun pembangunan nasional yang merupakan wujud dari kehendak seluruh rakyat Indonesia, demi mencapai suatu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; kedua, sebagai elaborasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945. Disitulah letak norma haluan negara, karena Pembukaan UUD 1945 mengandung konsepsi tentang jiwa bangsa (volksgeist), yang keberadaannya sudah dirintis jauh sebelum Indonesia merdeka.

Makna dan kedudukan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidaklah dapat dilepaskan dari konsepsi negara kekeluargaan dengan demokrasi konsensus sebagaimana disampaikan di atas. Kebijakan dasar (rencana) pembangunan tidaklah diserahkan kepada Presiden sebagai ekspresi kekuatan mayoritas. 

Kebijakan dasar pembangunan harus dirumuskan bersama melalui mekanisme konsensus seluruh representasi kekuatan politik rakyat dalam suatu lembaga perwakilan terlengkap termasuk melalui oposisi di parlemen.

Dengan adanya haluan negara, pemerintah dan oposisi di parlemen harus sama-sama menjalankan haluan negara tersebut yang berarti satu tujuan untuk kepentingan bangsa dan negara walaupun cara atau jalan yang dipakai akan berbeda.

 

Hal ini sangat memungkinkan terjadi sebagaimana dalam hubungan sistem pemerintahan dan partai oposisi, menurut Robert A Dahl dan Arend Lijphart yang menjelaskan tentang adanya karakteristik di negara-negara yang menganut model demokrasi konsensus dan campuran, seperti Amerika Serikat, pemegang kekuasaan bercirikan inklusif, tawar-menawar (bargaining), dan kompromis, oposisi tidak berhadap-hadapan, tetapi cenderung kompromi dengan partai pemerintah dan bekerja dalam mekanisme checks and balances.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya oposisi dan pemerintah dengan visi yang sama melalui haluan negara sebagai panduan pelaksanaan pembangunan yang bertalian dengan dasar kedaulatan rakyat, kematangan berdemokrasi serta model demokrasi konsensus yang menjadi ciri demokrasi Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement