Komisi E DPRD DKI berencana memanggil Dinas Pendidikan (Disdik) DKI untuk membahas Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) pada Kamis (14/3/2024) pekan ini. Pemanggilan ini buntut polemik informasi pemotongan anggaran KJMU.
"Ini agar ada solusi bagi penerima manfaat yang belum memperoleh program itu," kata Ketua Komisi E DPRD DKI Iman Satria kepada wartawan di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Iman menjelaskan, nantinya Komisi E DPRD DKI akan membahas anggaran 2024 sektor itu yang terbilang jauh lebih rendah. Ia mengatakan, anggaran saat ini hanya Rp 180 miliar, sedangkan tahun lalu Rp 360 miliar.
"Kurang lebih 45 persen berkurang dari 2023 baik KJMU atau KJP Plus," tambahnya.
Lebih lanjut, ia menduga, akibat pengurangan itu, akhirnya Pemprov DKI mengalokasikan penerima manfaat KJP Plus-KJMU berdasarkan pemeringkatan kesejahteraan (desil). Pemeringkatan kesejahteraan (desil) untuk peserta didik/mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang memenuhi persyaratan mendapatkan bantuan KJP Plus dan KJMU dibagi atas kategori, sangat miskin (desil 1), miskin (desil 2), hampir miskin (desil 3) dan rentan miskin (desil 4).
Sedangkan, bagi masyarakat yang terdata dalam pemeringkatan kesejahteraan Desil 5,6,7,8,9,10 (kategori keluarga mampu), maka itu tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial biaya pendidikan KJP Plus dan KJMU. Oleh karena itu, tegasnya, Komisi E DPRD DKI akan mengadakan rapat dengan Dinas Pendidikan DKI dengan meminta anggaran tambahan mengingat banyak yang belum mendapat bantuan tersebut.
"Sebaiknya tidak usah kasih KJMU ke penerima baru, tetapi yang lama pertahankan supaya tidak putus sekolah," ujar Iman.
Mantan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pun sudah mengomentari soal polemik KJMU. Dalam polemik KJMU yang belakangan ini viral, Anies ikut dibawa-bawa oleh publik yang mengadu kepadanya lewat media sosial.
Terhadap penerima manfaat yang sedang kuliah dan dibiayai menggunakan KJMU, menurut Anies, negara dianggap harus bertanggung jawab menyelesaikannya sampai selesai. Bukan malah melakukan rekrutmen dengan mendata peserta baru.
"Kalaupun tidak mau diteruskan programnya, ada keputusan tidak meneruskan, maka lakukan itu dengan cara tidak ada rekrutmen yang baru. Tapi yang sudah masuk ke dalam penerima harus dibiayai sampai tuntas karena kalau tidak mereka akan terbengkalai karena mereka adalah orang-orang membutuhkan bantuan," jelasnya.
Dia menganalogikan pada pengelolaan sebuah sekolah. Ketika sekolah dinyatakan sudah akan ditutup, caranya bukan dengan menerima siswa baru, melainkan siswa yang sudah ada dituntaskan. Kalau pun tidak bisa, perlu disiapkan tempat baru agar siswa tetap belajar dan tidak terbengkalai.
"Ini prinsip sederhana dalam pengelolaan negara, dalam pengelolaan program," kata dia.