Jumat 01 Mar 2024 20:22 WIB

Putusan MK Soal Parliamentary Threshold Dinilai Masih Menyisakan 'Celah'

Komite Pemilih Indonesia berharap MK menghapus sepenuhnya parliamentary threshold.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengungkap celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus parliamentary threshold atau ambang batas parlemen empat persen. Sehingga Jeirry menganggap putusan MK itu 'kentang' alias kena tanggung.

Jeirry sebenarnya berharap MK mengambil sikap tegas saja dengan menghapus ambang batas parlemen sepenuhnya.  "Sayangnya pencabutan ambang batas itu tidak disertai dengan ketegasan tentang berapa angka ambang batas yang pas," kata Jeirry kepada wartawan, Jumat (1/3/2024).

Baca Juga

Jeirry mengamati putusan MK justru malah terkesan punya kelemahan. Sebab MK masih menyerahkan penentuan ambang batas parlemen kepada pembentuk undang-undang yakni DPR RI dan pemerintah pusat. 

"Inilah kelemahan putusan MK ini. Tidak tuntas jadinya," ujat Jeirry. 

Jeirry menyayangkan MK malah masih memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengatur ambang batas parlemen dalam perubahan UU Pemilu nantinya. Menurutnya, MK lebih baik mencabut ambang batas parlemen sepenuhnya. 

"Sebab bisa saja nanti DPR akan menentukan ambang batas parlemen itu tetap ada dan bisa juga angkanya dibuat 3,5 persen. Jika begitu maka, tetap saja akan menghalangi kedaulatan rakyat," ujar Jeirry. 

Jeirry juga menekankan sebaiknya ambang batas parlemen untuk DPR RI ditiadakan saja. Adapun soal penyederhanaan partai di parlemen menurutnya cukup dilakukan lewat pengetatan seleksi partai politik yang ikut pemilu.

"Sehingga jika partai sudah lolos sebagai peserta pemilu, maka sudah dianggap layak untuk masuk parlemen," ujar Jeirry. 

MK baru saja mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada 29 Februari 2024.

MK memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di Pemilu berikutnya. Sebab terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029. 

Dalam pertimbangan hukum, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen. Angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. 

Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, tapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

photo
Pemilih lintas generasi di Pemilu 2024. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement