Rabu 14 Feb 2024 11:45 WIB

Bagi Pemilih Pemula, Perbanyak Referensi Jadi Kunci

Sikap kritis sangat diperlukan saat menentukan pilihan.

Rep: Santi Sopia/ Red: Setyanavidita livicansera
Pelajar memperlihatkan KTP yang telah selesai dibuat saat perekaman KTP elektronik di SMK YPK Kesatuan, Manggarai, Jakarta Selatan, Kamis (1/2/2024). Perekaman KTP elektronik dengan metode pelayanan jemput bola tersebut menyasar 40 pelajar kelas 11 dan 12 yang berusia 16-17 tahun. Pelajar yang berusia 16 tahun dapat melakukan perekaman KTP elektronik sehingga saat usianya 17 tahun dapat mengikuti pemilu. Sudin Dukcapil Jakarta Selatan menargetkan 47.610 perekaman KTP elektronik bagi pemilih pemula berusia 17 tahun sebagai syarat menjadi pemilih menjelang Pemilu 2024.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pelajar memperlihatkan KTP yang telah selesai dibuat saat perekaman KTP elektronik di SMK YPK Kesatuan, Manggarai, Jakarta Selatan, Kamis (1/2/2024). Perekaman KTP elektronik dengan metode pelayanan jemput bola tersebut menyasar 40 pelajar kelas 11 dan 12 yang berusia 16-17 tahun. Pelajar yang berusia 16 tahun dapat melakukan perekaman KTP elektronik sehingga saat usianya 17 tahun dapat mengikuti pemilu. Sudin Dukcapil Jakarta Selatan menargetkan 47.610 perekaman KTP elektronik bagi pemilih pemula berusia 17 tahun sebagai syarat menjadi pemilih menjelang Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selalu ada pemilih pemula alias yang baru pertama kali mengikuti pencoblosan di setiap hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Rahmah Aqilah Mona (19 tahun), asal DKI Jakarta, baru pertama kali mengikuti Pemilu di 2024.

Mona, sapaan akrabnya, mengaku merasa cukup memiliki tanggung jawab tersendiri setelah dirinya sudah dianggap legal untuk mengikuti Pemilu. Biasanya, dia hanya melihat orang tua maupun kerabat keluarga lain yang mengikuti ajang lima tahunan tersebut.

Baca Juga

"Aku merasa deg-degan, aku merasa ada tanggung jawab tersendiri karena tahun-tahun kemarin melihat orang tua, kakek, nenek nyoblos, sekarang aku harus menentukan sendiri," kata Mona, saat dihubungi, Rabu (14/2/2024).

Mona melihat bahwa di momen Pemilu kali ini, lebih banyak orang berbicara politik di sekitarnya. Awalnya dia sempat bingung saat hendak menentukan pilihan untuk calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).

Dalam menentukan pilihannya, Mona memiliki sejumlah pertimbangan tertentu. Biasanya, dia akan melihat dari media sosial, mendengar pendapat orang lain dan juga keluarga.

"Apa kata ibu, pendapat ayah aku, pendapat teman-teman, gimana tanggapan mereka soal Capres, sampai akhirnya ada Desak Anies, Ganjar, dan lain-lain, itu juga jadi salah satu pertimbangan aku memilih Capres dan Cawapres," ungkap mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) itu.

Menurut Mona, sikap kritis sangat diperlukan saat menentukan pilihan. Di kalangan usianya yang bisa dikategorikan sebagai Gen Z, diakui Mona lebih banyak melihat media sosial.

Tetapi juga tetap waspada terhadap hoaks dan bisa melakukan riset sendiri terkait kebenaran dari suatu informasi. Mona dan teman-temannya juga sering melihat langsung website paslon, situs bijakmemilih, dan saling beradu argumen, dibandingkan mengikuti kampanye luring. 

Jika mendengar suatu informasi dan pendapat, akan digali lebih jauh apakah itu hoaks atau benar. Mona juga menyarankan pemilih pemula agar lebih sering sharing dengan yang sudah berpengalaman.

Mona juga berpendapat bahwa momen Pemilu tidak boleh terlalu damai ataupun terlalu chaos. Kondisinya harus di tengah-tengah, karena perlu tetap kritis dan mengawal jalannya Pemilu.

"Harapan aku lima tahun ke depan semoga lebih baik lagi capres cawapresnya, lebih hebat-hebat lagi, terus untuk kampanye lebih banyak lagi debat dan pertanyaan-pertanyaan aja ke capres cawapres daripada naro-naro baliho yang gede-gede," kata dia menambahkan.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement