Kamis 25 Jan 2024 21:05 WIB

Perundungan di Satuan Pendidikan Masih Marak, KPAI Ungkap Faktor Penyebabnya

KPAI juga menemukan masih ada warga satuan pendidikan menutupi kejadian bullying.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Remaja disabilitas yang menjadi korban bullying sejumlah pelajar SMA di Cirebon (ilustrasi). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tiga aduan tertinggi pada klaster pendidikan
Foto: Instagram
Remaja disabilitas yang menjadi korban bullying sejumlah pelajar SMA di Cirebon (ilustrasi). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tiga aduan tertinggi pada klaster pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tiga aduan tertinggi pada klaster pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama adalah aduan anak korban perundungan di satuan pendidikan tanpa laporan kepolisian (LP). Dari pengawasan KPAI pada beberapa kasus, bullying dan perundungan marak terjadi karena beberapa faktor.

“Kekerasan pada klaster pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama sebanyak 329 kasus, dengan tiga aduan tertinggi yakni anak korban bullying atau perundungan di satuan pendidikan tanpa LP, anak korban kebijakan, anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan,” ungkap Komisioner KPAI Aris Adi Leksono lewat keterangannya, Kamis (25/1/2024).

Dia menyampaikan, pengawasan KPAI menunjukkan kekerasan bullying atau perundungan berakibat fatal, baik luka fisik permanen, trauma psikis, hingga menjadi penyebab kematian, yang mencapai 20 kasus. Selain itu, KPAI  juga mengidentifikasi modus bullying dan perundungan yang sering terjadi. Pertama, pelaku tidak hanya sendiri, cenderung melibatkan teman lain. Kedua, dilakukan secara sadis, terbuka, seakan merasa "bangga" tanpa malu dan tak takut akibatnya.

“Selain itu, ada upaya mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan sehingga merasa bangga ketika viral dan berdampak secara psikis pada setiap yang menonton. KPAI juga menemukan masih ada warga satuan pendidikan menutupi kejadian bullying dan perundangan, karena dianggap akan merusak reputasi lembaga atau personalia di dalamnya,” kata dia.

Hasil pengawasan KPAI pada beberapa kasus menunjukkan, bullying dan perundungan marak terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kondisi pengawasan, pembinaan, dan edukasi tentang bullying kurang optimal dari satuan pendidikan. Satuan pendidikan disebut tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik, bagaimana mengenali circle peserta didik, interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan, mengawasi media sosialnya, dan lainnya.

Kedua, sebagian warga satuan pendidikan masih menganggap bullying dan perundungan adalah masalah biasa seperti "kenakalan anak biasa". Mereka, kata dia, baru menyadari bahayanya setelah kasus terjadi, dan menemukan dampak fisik dan psikis yang mengancam tumbuh kembang anak, hingga ada anak yang meninggal, bahkan mengakhiri hidup akibat trauma bullying atau perundungan.

Berikutnya, sistem pendidikan, kurikulum, dan praktik pembelajaran belum optimal dalam merespons perubahan perilaku peserta didik, baik karena pengaruh lingkungan atau media sosial. Beban transfer pengetahuan masih sangat berat, sehingga mengabaikan penguatan sikap, karakter, mental, dan adab/akhlak mulia. Akibatnya anak terlambat membentuk "konsep diri" yang baik.

“Dengan konsep diri, anak dapat tumbuh kembang dengan kesadaran dan tanggung jawab akan perbuatannya, serta dapat membedakan perilaku baik dan buruk, mana yang perilaku merugikan dirinya dan atau orang lain, mana perilaku merugikan keluarga dan lembaga tempat dia belajar,” jelas dia. 

Kemudian, belum optimalnya implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Itu terbukti dengan masih terjadinya miskonsepsi terkait pola koordinasi lintas organisasi pemerintah daerah, aparat penegak hukum, satuan pendidikan dan lembaga masyarakat terkait teknis pembentukan Satgas Daerah, Tim pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan, teknis penanganan kasus, dan lainnya.

“Selain itu, pencegahan dan penanganan masih bertumpu hanya pada satuan pendidikan dan dinas pendidikan atau kementerian agama tingkat kota/kabupaten/provinsi,” kata Aris.

Faktor kelima, edukasi dan perhatian keluarga kepada anak berkurang, karena faktor ekonomi, kesibukan, dan broken home. Itu berakibat pada anak menjadikan media sosial sebagai rumah kedua untuk mencari perhatian dari sumber yang salah. Sehingga anak mudah terpengaruh oleh tayangan kekerasan yang ditonton.

“Atas dasar kondisi tersebut, tahun 2024, KPAI mengajak agar semua pihak ‘turun tangan’ untuk menghapuskan kekerasan pada satuan pendidikan. Semua gotong royong mengoptimalkan fungsi Tri Pusat Pendidikan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement