REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para calon wakil presiden dalam debat keempat yang digelar Ahad (21/1/2024) malam dinilai belum menunjukkan keseriusan mereka dan kebijakan di dalam isu krisis iklim karena masih terjebak dalam gimmick-gimmick politik. Ajang debat yang dilakukan masih terlihat seru sebagai tontonan namun minim substansi, padahal pemilih muda sangat antusias menunggu sesi debat ini.
Hal tersebut menjadi pembahasan dalam nonton bareng debat cawapres kerjasama GenZ Memilih, PilahPilih.id ,dan Bijak Memilih yang dihadiri secara langsung dan daring oleh ratusan pemilih muda dan pemerhati lingkungan.
Rika Novayanti dari PilahPilih.id mengatakan percakapan yang ada dalam debat lebih tampak antara penguatan kebijakan dan pemberian insentif kepada investor. Namun, para calon wakil presiden yang ada menurutnya juga belum bisa memunculkan hubungan antara perubahan iklim dengan hal-hal lain. Padahal krisis iklim akan berdampak pada segala lini kehidupan.
"Yang paling penting itu mereka lupa soal efisiensi, padahal nggak bisa transisi energi tanpa efisiensi. Mindset baterai dilihat sebagai renewable dan sustainable energy padahal itu cuma tempat penyimpanan. Listriknya dari mana? Manajemen industrinya bagaimana? Pelibatan masyarakat lokal terhadap proyek tersebut bagaimana? Karena hal yang paling mahal dari transisi adalah konflik,” jelasnya.
Co-founder Watchdoc Dandy Dwi Laksono, yang juga menjadi salah satu narasumber dalam acara ini mengatakan, aksi para cawapres semalam menunjukkan seolah-olah para calon voters mementingkan gimmick. Menurut dia, belum pernah ada nobar dengan antusiasme seperti ini.
"Biasanya nobar bola yang begini, jadi ini budaya baru dalam sejarah politik Indonesia dan sayang kalau momen ini justru membuat kita di pemilu ke depan jadi seperti cheerleader untuk main gimmick dan tidak terjadi discourse di situ, tapi sayang elite kita belum seprogresif kita," katanya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik UI, Hurriyah mengatakan topik yang terlihat dalam debat justru menunjukkan persoalan serius pada reformasi agraria yang menyimpang dari tujuan awalnya. Mereka juga mengakui bahwa reforma agraria memiliki harga yang harus ditanggung masyarakat, juga kerusakan lingkungan.
"Dan konflik yang memperlihatkan negara sedang bergandengan tangan dengan oligarki, dengan para pengusaha untuk menghadapi masyarakat. Dan negara ketika berkonflik dengan masyarakat menggunakan aparatur negara, keterlibatan militer dalam kasus konflik agraria seperti di Rempang dan Wadas, itu hal yang terjadi tapi masalah itu yang nggak banyak digali oleh para kandidat," katanya.
Untuk itu, menurut Hurriyah, pertanyaan selanjutnya adalah apakah nantinya pemimpin yang terpilih akan melanjutkan ideologi pembangunan yang dalam praktiknya sangat eksploitatif dan destruktif. Karena tidak berpihak pada pemulihan lingkungan dan perlindungan pada hak masyarakat.
"Cek lagi visi-misi program di masing-masing kandidat dan rekam jejak para kandidat, itu yang harus kita lakukan. Kenapa itu jadi penting, karena dalam prakteknya ketika seorang pemimpin terpilih penguasa itu bergandengan tangan dengan oligarki dan ada yang serius dalam menghadapi oligarki," katanya.
Hal senada disampaikan Rika yang menurutnya ada sejumlah rekomendasi bagi pemilih muda, termasuk untuk memastikan visi misi dari masing-masing calon, memperhatikan rekam jejak mereka serta tidak terjebak pada gimmick yang ada. "Terakhir kita harus melihat dan memilih sesuai prinsip, jangan karena FOMO (fear of missing out)," katanya.
Sebelumnya, sebuah survei daring yang dilakukan oleh PilahPilih.id terhadap ribuan pemilih muda mengungkap bahwa 90 persen responden khawatir terhadap masa depan lingkungan. Survei yang sama juga menemukan bahwa isu lingkungan akan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi pilihan anak muda dalam pemilu mendatang. Temuan di survei PilahPilih.id juga menunjukkan bahwa 87 persen pemilih muda merasa bahwa isu lingkungan belum cukup dibahas secara mendalam di berbagai diskusi politik menjelang pemilihan umum.