Kamis 18 Jan 2024 00:03 WIB

Sejarah Carok, Legenda Sakera, dan Dimensi Pidana Berbalut Hukum Adat

Sejarah carok di Madura terkait dengan legenda Sakera pada zaman penjajahan Belanda.

Senjata tajam untuk carok. (ilustrasi)
Foto:

Carok dalam Hukum Pidana 

Doktor Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir mengatakan, carok dalam pidana, padanannya adalah pembunuhan, atau menghilangkan nyawa orang lain. “Istilah carok itu adalah hukum masyarakat (adat) bagi orang Madura. Itu sama seperti siri bagi masyarakat di Sulawesi, atau di Jawa juga seperti Utang pati saur pati. Di masyarakat-masyarakat lainnya mungkin sama, dengan istilah-istilah yang berbeda-beda,” kata Muzakir saat dihubungi, Rabu (17/1/2024).

Namun, dimensi perbuatan ragam istilah pembunuhan itu, berbalut dengan hukum adat yang tak tertulis. Di Indonesia, kata Muzakir hukum adat yang tak tertulis itu, mendapatkan pengakuan dalam hukum positif atau yang tertulis. Terutama dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pun juga dalam Pasal 5 UU Darurat Tahun 1951.

“Yang pada intinya, hukum adat, ataupun hukum yang hidup, dan berkembang di masyarakat, yang itu tidak tertulis dalam undang-undang tersebut (KUHP), tetap berlaku bagi masyarakat di mana hukum yang tidak tertulis itu berada dan dijalankan,” kata Muzakir.

Menurut dia, jika perbuatan dalam hukum adat, ada padananya dalam KUHP, maka konsekuensi hukumannya memang harus mengacu ke KUHP. Namun dikatakan dia, dengan tetap menjadikan hukum adat itu, sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman.

“Carok, itu ada padanannya dalam KUHP. Itu pembunuhan. Karena materinya adalah pembunuhan, maka berlakulah KUHP. Dengan catatan, bahwa perbuatan pembunuhan itu, harus dihubungkan dengan nilai-nilai hukum adatnya dalam memperberat, atau meringankan hukumannya,” kata Muzakir.

Dan jika satu perbuatan hukum adat, tetapi tak ada padanannya dalam KUHP, maupun UU, maka yang berlaku dalam penjatuhan hukumannya, mengacu pada hukum adat. “Dengan catatan, hukuman pidananya maksimal 3 bulan,” ujar Muzakir.

Muzakir, dalam penelitiannya sebagai dosen hukum pidana, pernah menemukan dua kasus di Jawa Timur (Jatim) yang bertalian antara hukum adat, dan hukum positif. Pertama, disebutnya sebagai kasus Sanah yang terjadi di Probolinggo.

Dalam kasus tersebut, Sanah adalah seorang suami atas istri yang dinikahinya secara sah. Setelah menjalani pernikahan, kata Muzakir, Sanah diberitahukan oleh seorang warga, bahwa istrinya ada berdua-duaan dengan laki-laki lain di dalam hutan. Sanah, pun pergi ke hutan yang dimaksud. Dan menemukan, istrinya yang melakukan persetubuhan di hutan bersama laki-laki lain.

“Sanah lalu membunuh istrinya itu, dan juga laki-laki selingkuhannya itu,” kata Muzakir.

Bahkan, Sanah memotong kepala istri dan selingkuhannya itu. Lalu Sanah pulang, dan ke balai desa lalu menyampaikan perbuatannya ke kepala desa untuk diadili.

Lalu kepala desa, membawa Sanah ke kantor polisi untuk diproses hukum. Dan Sanah menerima konsekuensi hukumannya dengan dijerat Pasal 340 KUH Pidana. Sangkaan pembunuhan berencana, yang mengancamnya dengan hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Akan tetapi, dalam kasus tersebut hakim menghukum Sanah dengan penjara selama 10 tahun.

Yang menarik, kata Muzakir, dalam pertimbangan hukumnya, hakim mendapatkan kesaksian, dan penjelasan tentang keberlakuan hukum yang tak tertulis dari para tetua adat, dan tokoh masyarakat di desa tempat Sanah hidup. Bahwa hukum masyarakat yang berlaku di desa tersebut mendukung perbuatan Sanah.

Bahkan kata Muzakir, keberlakuan hukum adat di desa tersebut membenarkan perbuatan penghilangan nyawa terhadap istri, atau suami yang berselingkuh dan berhubungan intim dengan orang yang tidak sah. “Bahkan yang paling menarik juga, dari pihak keluarga korban, baik keluarga korban istrinya, dan keluarga korban laki-laki, menyampaikan Sanah akan bersalah secara hukum adat jika tidak melakukan perbuatannya (membunuh),” kata Muzakir.

Contoh lainnya, juga kata Muzakir ada pertalian kasus hukum adat dan praktik hukum tertulis terkait dengan perselingkuhan dan perzinahan. Kasus tersebut, dengan penjeratan Pasal 284 KUH Pidana yang hukumannya maksimal 3 tahun penjara.

Akan tetapi, di persidangan, jaksa menuntut terdakwa perzinahan itu dengan hukuman mati. Karena, kata Muzakir, dalam penjelasannya, jaksa menyampaikan bahwa di masyarakat tempat terjadinya peristiwa perselingkuhan dan perzinahan itu, ada hukum adat tak tertulis yang mengaruskan pelakunya itu dihukum mati.

“Di persidangan, masyarakat juga menyampaikan jika terdakwa dibebaskan, maka masyarakatnya sendiri yang akan mengeksekusi mati atas perbuatannya itu jika sudah bebas dari pemidanaan,” kata Muzakir.

Sebab itu, jaksa, menuntut si terdakwa dengan hukuman mati demi menghindari eksekusi di luar pengadilan. Namun kata Muzakir, jaksa menyarankan kepada terdakwa untuk banding.

Akan tetapi, hakim pengadilan tinggi, tetap menguatkan hukuman mati. Dan setelah melalui kasasi, Mahkamah Agung (MA) mengubah putusan terhadap terdakwa maksimal sesuai dengan dakwaan Pasal 284 KUH Pidana. Yaitu 3 tahun penjara.

“Tetapi, MA memberikan catatan agar terdakwa setelah menjalani pemidanaan, untuk tidak kembali ke kampung halamannya. Itu untuk menghindari hukuman mati di desanya,” begitu kata Muzakir.

Dua contoh kasus pidana tersebut, sebetulnya gambaran lain dari carok yang terjadi di Madura. Menurut dia, hukum adat akan mengklasifik apakah sabung nyawa antara manusia itu, berawal dari pertikaian yang diatur ketentuannya dalam peradatan masyarakat setempat. Dan carok, jika sesuai dengan klasifikasi hukum adat, dapat menjadi penentu berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku carok.

“Jadi, kalau itu carok, kalau itu siri, atau yang lainnya, kedudukannya bisa memperberat, bisa memperingan. Tetapi, tidak menghapus perbuatan pidananya. Karena materi perbuatannya itu, adalah pembunuhan yang juga diatur dalam KUHP,” kata Muzakir.

photo
Karikatur Opini Republika : Darurat Kekerasan Remaja - (Republika/Daan Yahya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement