Jumat 12 Jan 2024 14:01 WIB

Riset: Sampah Plastik Air Mineral Kotori Enam Kota Besar

Faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk jauh lebih makan tempat.

Tiga lembaga melakukan audit sampah di Sungai Ciliwung dari hulur ke hilir pada Ahad (10/12/2023).
Foto: Republika.co.id
Tiga lembaga melakukan audit sampah di Sungai Ciliwung dari hulur ke hilir pada Ahad (10/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktis dan harga yang relatif terjangkau membuat air minum kemasan bermerek menjadi bagian gaya hidup perkotaan masyarakat Indonesia. Namun kabar buruknya adalah konsumsi masif masyarakat atas aneka produk tersebut, utamanya kemasan gelas dan botol, berujung timbulan sampah plastik.

Riset Net Zero Waste Management Consortium yang dipublikasikan pada 22 November 2023, mengungkap, sampah plastik air mineral masuk dalam daftar 10 besar penyumbang timbulan sampah di beberapa kota besar. Di antaranya, Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali dan Samarinda.

Dalam laporan bertajuk 'Potret Sampah 6 Kota Besar', konsorsium peduli sampah berbasis Jakarta itu menyebut sampah plastik sejumlah brand air mineral ditemukan dalam volume besar di banyak tempat, baik di bak atau tong sampah, tempat pembuangan sementara (TPS), truk sampah, tempat pembuangan akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, hingga laut.

Dalam daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan menyebut porsi terbesar (59.300 buah) adalah serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus mi instan (37.548).

Lima peringkat setelahnya berturut-turut adalah sampah plastik empat brand minuman populer. Dua peringkat terbawah adalah sampah saset sampo dan bungkus kopi. Secara keseluruhan, sampah ke-10 brand makanan dan minuman tersebut mencapai 17 persen dari total sampah yang berhasil diidentifikasi dalam riset.

Khusus sampah plastik air mineral, total sampah air mineral gelas masih jauh lebih besar dari total serpihan plastik (urutan pertama) yang berhasil diidentifikasi. "Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin di Jakarta, Jumat (12/1/2024).

"Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar," ucap Ahmad melanjutkan.

Menurut Ahmad, temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Dalam skema extended producer eesponsibility (EPR), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama pengambilan kembali (take back), daur ulang, dan pembuangan akhir sampah produk.

Ahmad mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan up sizing agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum. Hal itu untuk mengurangi potensi timbulan sampah. Menurut dia, sampah botol plastik produk minuman sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.

Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema circular economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota. "Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS, TPA, pinggir jalan, badan air bahkan dibakar," ucap Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement