REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pemilihan Umum 2024, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod. M.Si., menekankan tiga prinsip demokrasi. Ketiga prinsip itu adalah kedaulatan rakyat, mayoritas, serta pemilihan yang bebas dan jujur.
Hal ini disampaikan pada Diskusi Publik Catatan Awal Tahun dengan tema Pemilu 2024: Penguatan atau Disrupsi Demokrasi? yang diselenggarakan di Aula Kasman Singodimedjo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMJ, Rabu (10/01/2024).
“Paradoks dalam demokrasi ada, tapi saya kira pilihan ini lebih baik dibanding yang lainnya. Semestinya pelaksanaan demokrasi juga berprinsip pada demokrasi. Jangan sampai bajunya demokrasi tapi kemudian isinya monarki. Itu tidak bisa, harus konsisten antara jasad dengan ruh. Konsisten antara prosedur dan substansi,” tutur Ma’mun.
Prinsip yang dimaksud adalah, pertama kedaulatan rakyat yang berkaitan dengan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam hal ini menurutnya pendidikan berpengaruh pada kualitas demokrasi. Menurutnya rata-rata tingkat pendidikan di Indonesia belum bisa menghasilkan demokrasi berkualitas yang menghasilkan pemimpin sesuai kehendak.
Prinsip kedua ialah mayoritas. Pada konteks ini, Ma’mun menilai bahwa terdapat ketidakseimbangan pasca pemilihan presiden. “Setelah pemilu presiden secara langsung di Indonesia yang terjadi adalah ketidakseimbangan, tidak ada check and balances. Diharapkan pihak yang kalah akan menjadi oposisi, tapi ternyata bergabung ke pihak penguasa,” ungkapnya.
Prinsip ketiga, lanjut Ma’mun ialah pemilihan yang bebas dan jujur. Melihat proses demokrasi melalui pemilihan umum yang sedang berlangsung di Indonesia, Ma’mun mengkritisi adanya kecurangan. “Prosesnya saja sudah tidak beres, maka diperkirakan akan menghasilkan produk-produk Pemilu yang dipertanyakan keabsahannya,” tegas Ma’mun.
Selain itu, Ma’mun juga sangat menaruh perhatian pada pihak yang menjadi wasit dalam kontestasi Pemilu. “Pemilu yang luber dan jurdil itu mensyaratkan adanya wasit yang adil. Sesuai namanya, wasit berasal dari kata wasathiyah, artinya berada di tengah bukan berpihak. Kita melihat secara telanjang, wasit itu tidak adil,” pungkas Ma’mun.
Atas dasar prinsip demokrasi yang memperlihatkan realitas demikian, Ma’mun mengharapkan civil society menjadi pihak yang dapat melakukan penguatan demokrasi. Salah satu caranya ialah menjadi pengawas setiap proses Pemilihan Umum. Menurutnya, apabila politik dianggap sebagai muamalah duniawiyah, maka salah satu prinsip yang harus dianut adalah tidak boleh ada kecurangan.
“Maka dalam berpolitik yang dianggap sebagai muamalah duniawiyah juga begitu, tidak boleh curang. Ini tugas kita semua, terutama mahasiswa untuk melakukan pengawasan,” ungkapnya. Pada kesempatan itu pula Ma’mun mendorong Kaprodi dan dosen-dosen Ilmu Politik agar dapat memeberikan penugasan mata kuliah pada mahasiswa berupa pengawasan Pemilu 2024.
Diskusi publik ini diselenggarakan atas kerja sama Program Studi Ilmu Politik, Prodi Magister Ilmu Politik, Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik, Asosiasi Program Studi Ilmu Politik. Hadir pula tiga narasumber yaitu Dosen FISIP UNAIR Airlangga Pribadi, Ph.D.,Direktur Riset Algoritma Dr. Fajar Nursahid, M.Si., dan Direktur Eksekutif Peludem Khoirunnisa Nur Agustyati.
Turut hadir Dekan FISIP UMJ Prof. Dr. Evi Satispi, Wadek I Dr. Amin Tohari, M.Si., Wadek II Djoni Gunanto, M.Si., Kaprodi Ilmu Politik Dr. Usni, M.Si., Kaprodi Magister Ilmu Politik Dr. Lusi Andriyani, M.Si., dosen dan mahasiswa di lingkungan FISIP UMJ.