REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada negara yang menjadikan alutsista bekas sebagai prioritas dalam daftar belanja sistem pertahanannya. Pengamat Militer dan Pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan termasuk Indonesia, yang menghendaki pengadaan alutsista dengan membeli barang-barang baru.
Namun begitu, dikatakan dia, ada kondisi faktual, maupun politik internasional yang selama ini, lumrah menjadikan beberapa alutsista bekas dari negara lain, sebagai alternatif dalam keranjang belanja alat-alat pertahanan utama Indonesia.
“Sebenarnya negara mana sih di dunia ini, yang ingin membeli alutsista yang bekas? Tidak ada. Termasuk Indonesia. Idealnya, kita memang membeli yang baru. Dan memang kita sudah membeli yang baru,” begitu kata Khairul saat dihubungi Republika dari Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Alutsista baru yang dimaksud Khairul terkait dengan kontrak pembelian unit-unit pesawat jet tempur Rafale dari Prancis. Namun begitu, Khairul menerangkan, pembelian alutsista baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, bukan perkara mudah. Karena mengharuskan impor.
Pun, kata dia, kesepakatan pembelian alutsista baru tersebut, pun bukan sekali bayar langsung bawa barang seperti komoditas-komoditas umum. Melainkan, kata dia, belanja alutsista tersebut, melalui negosiasi, dan permintaan-permintaan khusus sesuai dengan kebutuhan pertahanan negara pembeli. Itu sebabnya, kata Khairul mencontohkan dalam pembelian alutsista seperti pesawat jet tempur, ataupun kapal perang, dan lain-lain harus menunggu proses jadinya.
“Karena pembuatan alutsista, kalau itu baru, ambillah contoh pesawat tempur, itu membutuhkan waktu dua sampai lima tahun, produksinya by order,” begitu ujar Khairul.
Selama menunggu proses produksi tersebut, kata Khairul menambahkan, performa pesawat tempur yang selama ini dimiliki Indonesia tentunya semakin menurun. Itu sebabnya, kata Khairul, untuk mengisi penurunan tersebut, sambil menunggu produksi jet tempur yang sudah disepakati baru, otoritas pertahanan, mengambil langkah untuk mencari yang bekas.
Pun itu, kata Khairul, tentunya dengan spesifikasi dan performa jet tempur yang masih prima dengan jangka waktu pemakain yang masih panjang. “Jadi sebenarnya, jangan kita membandingkan alutsista yang baru, dengan yang bekas. Tentu idealnya, saya kira, pemerintah inginnya yang baru. Karena kita mampu untuk membeli yang baru,” ujar Khairul.
Belum lagi, kata Khairul, pembelian alutsista yang baru tersebut, juga ada terkait dengan kondisi politik tertentu dengan negara-negara produsen. Saat ini, kata Khairul, Kementerian Pertahanan (Kemanhan) sudah memulai untuk peremajaan alutsista.
Menurut Khairul, prioritas peremajaan yang saat ini dilakukan terutama alutsista udara, seperti jet-jet tempur. “Kalau kita kondisinya saat ini, lebih dari 50 persen pesawat-pesawat Angkatan Udara kita ini, sudah tidak layak pakai, dan semakin menurut performanya,” ujar Khairul. Namun dikatakan dia, sambil menunggu hasil kesepakatan dengan negara-negara produsen jet tempur untuk mendapatkan barang baru, tak ada persoalan jika pembelian alutsista bekas, dapat menambal penurunan performa alutsista yang ada saat ini.