Kamis 14 Dec 2023 18:20 WIB

Pekerja Perempuan Transportasi, Mari Kita Berjuang Lawan Kekerasan dan Pelecehan!

Diperlukan perlindungan terhadap pekerja perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Ni Luh Putu Ellyani (46) mengemudikan bus tingkat wisata atau Bus City Tour Jakarta, Selasa (20/12). Pemprov DKI Jakarta memilih sopir perempuan ketimbang laki-laki untuk menjadi pengemudi bus wisata, hal ini dinilai pengemudi perempuan lebih mampu mengend
Foto:

Kekerasan dan pelecehan berbasis gender terhadap PRT 

Cerita kasus ini umumnya lazim terjadi  di Asia di mana banyak perempuan tidak memiliki posisi tawar dan hak pilihan di tempat kerja dan di masyarakat. Semua itu membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Hal ini terutama terjadi ketika bekerja di pekerjaan yang paling informal dan berbahaya di mana perempuan menjadi mayoritas.

Ketidaksetaraan kuasa berdasarkan gender juga membentuk perilaku dan norma yang dianggap sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki didorong untuk menjadi aktif, kuat, berkuasa, mengendalikan, dan agresif. Perempuan diajari untuk menjadi lemah, pasif, patuh, mengasuh, dan sensitif.

Sementara itu, nilai seorang perempuan seringkali dilihat dari kecantikan dan tubuhnya. Perempuan datang untuk dilihat dan diperlakukan sebagai kepemilikan atau objek, bukan sebagai manusia dengan hak untuk diperlakukan sama dan dengan hormat.

Tak berbeda dennen di Asia, pada tahun 2019, Pemerintah Uganda mengusulkan rencana untuk mempromosikan industri pariwisata negara tersebut dengan kontes kecantikan “Miss Curvy (Putri Lekuk)”, dan menyarankan untuk menam-bahkan kata-kata “perempuan dengan lekukan dan seksi” pada informasi yang tertulis dalam daftar objek atraksi di Uganda.

Norma gender ini berbahaya bagi laki-laki dan perempuan: mereka memperkuat ketidaksetaraan gender dan menciptakan budaya toksik maskulinitas. Norma gender menetapkan hak laki-laki untuk melecehkan perempuan dan menyebabkan laki-laki merasa berhak untuk mendominasi tubuh perempuan. Laki-laki yang tidak mengikuti stereotip ini sering menghadapi diskriminasi.

Maka, KPBG itu sebenarnya adalah masalah kuasa dan kendali dan digunakan sebagai cara untuk mempertahankan perempuan dalam posisi yang tidak setara. Hal ini terutama terjadi ketika mereka mencoba untuk menuntut klaim atas kuasa.

Semua bukti telah menunjukkan bahwa ketika perempuan memasuki pekerjaan non-tradisional "perempuan" atau posisi senior, mereka sering menghadapi kekerasan dan pelecehan.

Namun, ketika perempuan melaporkan kekerasan dan pelecehan, mereka sering kali dibungkam. Mereka mungkin diabaikan atau tidak dipercaya; tingkat keparahan dari serangan dapat diminimalkan; atau mereka mungkin diminta untuk menganggapnya sebagai "lelucon" atau "pujian". Ini membuat mereka takut untuk melaporkannya.

Perempuan, terutama mereka yang berada dalam situasi kerja yang paling rentan, mungkin takut akan pembalasan, kehilangan pekerjaan, atau bahwa kekerasan dan pelecehan akan menjadi semakin buruk.

Dalam beberapa kasus, mereka yang mengajukan keluhan mungkin diminta untuk menandatangani perjanjian kerahasiaan, sehingga mereka tidak dapat berbicara lebih lanjut. KPBG mungkin akan terlihat sebagai "normal" atau "bagian dari pekerjaan".

Perempuan yang menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan saling beririsan seperti yang didasarkan pada kelas, ras, usia, status migrasi atau status disabilitas, mungkin lebih berisiko mengalami kekerasan dan pelecehan, dan mungkin juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses terhadap dukungan yang mereka butuhkan.

Kisah kekerasan yang berisisan dengan diskriminasi tersebut terjadi misalnya telah menimpa seorang perempuan pekerja pertambangan di Kolumbia. Selaian seorang pekerja dia ternyata juga pemimpin serikat di sebuah perusahaan pertambangan multinasional.  Hidupnya menderita karena terkena pelecehan verbal yang agresif dari rekan laki-lakinya.

Perempuan tersebut diserang secara seksual oleh salah satu atasannya. Setelah dia mengadu, perempuan lain juga melaporkan tuduhan serupa. Namun perusahaan tidak melakukan apa pun.

Kisah kekerasan perempuan yang bekerja di sektor dirgantara di Maroko juga tak kalah mengenaskan. Di sana seorang perempuan muda yang bekerja di sektor ini telah melaporkan dilecehkan secara seksual oleh atasan laki-lakinya.

Celakanya, pihak perusahaan malah menuduhnya mengarang cerita dan menekannya untuk membatalkan pengaduan. Mereka memberi tahu sang pekerja perempuan ini dengan menyatakan bahwa pelaporannya akan berdampak negatif pada reputasi perusahaan. Dan, karena perempuan tersebut tidak memiliki bukti telah dilecehkan, perusahaan tidak melakukan apa pun. Akhirnya dia pun harus keluar dari pekerjaannya.

Jadi tindakan menyalahkan korban (meminta pertanggungjawaban korban dan bukannya pelaku) adalah akibat lain dan lazim terjadi akibat dari ketidaksetaraan gender. Sudah terlalu sering ketika perempuan melaporkan kekerasan dan pelecehan, justru tindakan atau perilaku mereka yang disalahkan.

Sayangnya, situasi yang menyalahkan perempuan yang justru menjadi korban seperti ini pun ternyata masih terjadi dalam serikat pekerja itu sendiri.  

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement